21 Oktober 2011

Bouquet yang tak pernah sampai

Kita pernah berkenalan, kita pernah tertawa bersama. Sederhana. Sesederhana itu. Tapi nampaknya sekarang tidak lagi sederhana. Hal yang sederhana hanya bisa diwujudkan dengan hal yang rumit. Bingung? Ah, nyatanya, kita menjalani yang rumit itu. Toh, mesti banyak pertimbangan kan…
cantik, samar. itulah kamu dalam pandanganku. seorang yang mempunyai maksud. hari-hari tak pernah menjadi sebuah continuum. hari-hari hanyalah titik-titik mula untuk berikutnya. perpotongan yang bukan kebetulan.
Kemarau di sini selalu dingin.
sedangkan di sana mungkin sudah biasa jika anak-anak berendam di pancuran taman kota.
orang-orang tua mereka mengizinkan.
Di sini, kita tahu, pancuran tengah kota cuma untuk
kilapkan adipura. Kita butuh monumen untuk mengingatkan orang banyak,
agar dokumentasi bisa dibuat orang lewat potret atau
tulisan.
Karena kita mudah lupa, dipastikan beranjak pikun.
dari kesalahan, dari kebanggan.
pancuran kota di sini seperti monumen.
di sini, selalu saja seperti diingatkan, dengan plakat-plakat besar
seperti orang di sini selalu dianggap mudah lupa
dari dendam, dari maaf.
Aku akan senyum untukmu, ketika kita bertemu.
bukan supaya dikenang, tapi agar kau lupa
sebuah senyum monumental yang bukan untuk masa lalu
tapi perkenalan baru
seperti bius dalam misteri, yang langgengkan ingin tahu
aku menjadi orang asing
selain nama dan rupa, semuanya asing dari ingatan.
Cantik. Samar.
itulah aku. senja hari di sebuah jembatan, ketika anak-anak berbalap pulang dengan sepeda untuk mandi. Saat itulah hari berhenti.
Aku yang baru kau kenal tak ada lagi.
kau hanya sedang mengigau saja, sebut nama dan seakan melihat rupa. Samar, cantik, yang kau sadar
hantu. Yang kaulihat, tak masuk nalar.
Bukan, bukan aku orang yang patut dirindu.
Aku bukan khayal, aku punya nalar sendiri,
tapi bukan nalarmu.
Aku, terlalu bebal untuk diajar tentang hidup yang kau tahu.
Akur saja, tak perlu paksa benar siapa.
tak ada plakat sebut aku tiada
Senyum, hanya agar kau lupa. tak ada potret juga tulisan
karena kau lupa di mana.
cukup senyum saja, tak perlu dokumentasi rapimu jadi
monumen. karena aku tak ada saat itu semua. Asing.
mata sayu berselimut pupur di magrib yang surut
seperti jam pasir pengancam
dinding pipa kapiler mengecil, degup makin kencang
mata merah, kau menangis.
pupur dibasuh wudlu, sembab tak ditipu
memohon lupa sewaktu sujud, sembab makin jadi.
Pupur ditabur di permukaan wajah lembut
di hadapan cermin menanti senyum
agar di meja makan nanti tak timbul tanya
dan penerimaan pun terjadi.
pupur dan sujud.
dua saat jalani pribadi, taat di dunia sendiri
kau bukan lagi penakut
Hantu seperti bayangan di cermin
adanya tak dapat kau jangkau
memaki tak baik, memuji tak buruk
tak perlu dipastikan, kecewa kan datang
di atap kokoh kau rebah, di paduan tangan kau berbaring
tak gigil di kaki Sumbing.
Jantung berkedut tak pernah kau rasa
makan apa saja kau bisa, tanpa perlu khawatir denyut ketiga
hantu datang serta merta, tak pedulilah, energinya bakal habis juga
lembam, lengang, melayang-layang
seperti asap hasil bakaran
dari potret dan tulisan lama yang tersimpan
lega
kau bukan lagi penakut.
lembaran-lembaran menguning
tak lagi guratan kambium penguat pancang
usia merapuhkan, jika bukan rayap-rayap yang memakan
hidup sebagai pancang, sandaran bagi pelancong yang datang
Bukan, aku datang bukan sebagai pelancong yang bersandar
aku datang sebagai pemugar, tak akan menjadikan cagar
sekali pun, jangan harap aku datang
aku pembuat lembaran-lembaran menguning
usia yang merapuhkan, rayap-rayap yang memakan
kau ingin kokoh, aku perapuh.
Samar. Cantik.
aku samar, kau cantik. di mana pun, aku berada. di tempatmu, kau berada.
aku cacah, kau bulat.
Akur saja, tak perlu paksa benar siapa.
sehari ini, biar saja kopong. yang khayal, yang nyata menyatu
dalam gugus rumit.
samar cantik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar