02 Agustus 2011

Antara Komunikasi, Media, Adanya M. Nazaruddin dan Kita.

Persoalan “di manakah M. Nazaruddin” mencuat setelah yang bersangkutan ‘berobat ke Singapura’ tepat sehari sebelum KPK mengumumkan pencekalannya ke luar negeri. Pesan-pesannya ‘dari sana’—baik via BBM maupun lewat wawancara telepon yang dilakukan oleh media cetak dan televisi, menyentuh nama-nama orang yang disebutkannya. Kabar terakhir terkait keberadaannya yang misterius adalah suara yang mirip dengan jingle Sari Roti. Biarlah persoalan “di manakah M. Nazaruddin” menjadi urusan pihak yang berwenang (atau yang berkepentingan atau yang merasa dirugikan) untuk mencarinya. Sedangkan tulisan ini ingin menjadikan hilangnya M. Nazaruddin sebagai kasus menarik dalam rentetan kasus whistle blower yang berpola ‘kalau saya kena, situ juga mesti kena’—yang makin marak saja, dari sisi komunikasi yang dilakukannya.


Berbeda dari Gayus Tambunan dan Susno Duadji yang telah diproses secara hukum, M. Nazaruddin sempatkan diri untuk menghilang sebelum menjadi politisi yang menjajakan suaranya kepada media. Bisa jadi nyanyian yang dijajakannya itu dengan maksud baik, karena ia (mungkin)merasa adalah tugasnya untuk meng-komunikasi-kan yang dipikirnya sebagai kebenaran. Karena ia (mungkin) sepakat dengan Karl Jaspers yang pernah berpendapat bahwa “kebenaran filsafat melihat semua umat manusia sebagai (orang) yang lain yang penuh kemungkinan, di mana adalah tugas kita untuk berkomunikasi dengannya.” Secara prinsipil, era komunikasi saat ini merupakan kejayaan bagi prinsip komunikasi yang dibayangkan Jasper di tahun 1930an. Akan tetapi bayangan Jasper ini akan terlihat kontras jika kita melihat aspek ‘siapakah yang berkomunikasi saat ini?’.


Komunikasi sejati saat ini?

Kita tahu dengan adanya telepon seluler (atau perangkat mobile-phone berikut perangkat yang berkembang darinya) merupakan tolok ukur dalam kemampuan komunikasi saat ini; dan kemampuan komunikasi merupakan aspek dasar nan penting untuk memperoleh kebebasan individual. Sekaligus juga dengan kesalingterhubungan (connection) yang sebisa mungkin dapat terpenuhi kapanpun dan di manapun kita ingin berkomunikasi. Ya, dari sini bisa kita lihat bahwa komunikasi merupakan pemenuhan dari suatu hasrat individual dan mobile-phone menjadi pusat komunikasi pribadi kita. Hal ini makin masif ketika kita bisa memilih gadget komunikasi yang sesuai dengan pribadi ataupun keinginan kita. Inilah perubahan mendasar dari perkembangan komunikasi saat ini, bahwa komunikasi merupakan tindakan menyendiri.


Mungkin kita perlu membandingkan dengan pendapat Jurgen Habermas tentang ‘tindakan komunikatif’ (communicative action). Tindakan komunikatif adalah penggunaan bahasa dengan suatu orientasi untuk mencapai suatu pemahaman. Kita bisa melakukan tindakan komunikatif ini jika ada sebuah proses yang memungkinkan orang bisa sampai pada suatu pemahaman akan sesuatu. Dan Habermas membedakannya dengan ‘tindakan atau strategi instrumental’, yaitu tindakan untuk mengontrol pribadi lain dan untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi. Cobalah tengok pendapat Habermas berikut:


Kita bahkan menyebut seseorang rasional jika dia bisa mengungkapkan suatu atau maksud, mengungkapkan suatu perasaan atau suasana hati, … dan lalu mampu meredam kritik yang berkenaan dengan ketersingkapan pengalaman, dengan cara menarik konsekuensi praktis darinya dan berperilaku secara konsisten sesudah itu.


Bagi Habermas berkomunikasi bukanlah untuk memenuhi hasrat, melainkan untuk mengungkapkan suatu hasrat atau maksud. Berkomunikasi berarti membuat diri kita sendiri dimengerti. Lalu orang lain dapat menanggapi. Sesekali mungkin kita menggunakan kata-kata untuk memuaskan suatu keinginan (misalnya memaki), tapi bagi Habermas itu bukanlah komunikasi yang sejati.


Saat ini, kita memang tak bisa menampik kebutuhan komunikasi yang lebih ekonomis melalui sistem yang kita bangun untuk membantu mengurusi kita sendiri; contohnya: segala tatanan yang menggantikan dialog dengan aturan, dengan pertukaran uang atau status, dengan iklan layanan yang impersonal. Bagi Habermas, sebisa mungkin kita dapat meraup banyak pemahaman mendalam dengan terlibat dalam komunikasi otentik. Sebab jika tidak demikian, Habermas meramalkan bahwa sistem—yang pada awalnya membantu kita tersebut—bisa jadi menjauhkan kita dari ‘dunia kehidupan’ (lebbenswelt). Di mana ‘dunia kehidupan’ itu berasal dari bermaknanya pengalaman dan tindakan manusia secara bersama-sama. Ramalan tersebut terjadi bilamana tiap-tiap dari kita hidup dengan melaksanakan tugas tanpa mengalami suatu pengalaman; menghabiskan waktu untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan; dan segala aspek hidup kita seolah-olah selalu berhadapan dengan birokrasi atau aparat tertentu, juga selalu melulu tentang uang dan atau status.


Semakin konsensus dalam bahasa dihilangkan oleh media, semakin kompleks jaringan interaksi yang diarahkan media.


Ketika kita menyerahkan hidup untuk dibentuk oleh aturan main suatu institusi, maka makin sedikitlah ruang dialog. Dalam iklim demikian, jangan harap seseorang dapat dimengerti (dan bisa memahami) orang lain.


Sekarang ini moda komunikasi memungkinkan kita untuk menerima dan atau menyampaikan (melakukan pertukaran)pesan tanpa mesti melibatkan kita secara langsung. Komunikasi diartikan sebagai lalu lintas data dan suara yang mengalir-melintasi seluruh sistem. Sehingga kita tak lagi bisa menilai karakter pribadi seseorang; begitu juga kita di mata orang lain. Keterikatan orang-orang disebabkan oleh aturan dan prosedur yang sama (system integration), bukan lagi karena kesamaan pemahaman yang tetap mereka pertahankan di antara mereka (social integration). Dengan perkataan lain, kita bisa menyebut bahwa komunikasi telah diambil alih oleh keseluruhan sistem. Jika sudah demikian, persoalan berikutnya adalah ‘apakah komunikasi merupakan salah satu fungsi dari sistem?’ atau ‘apakah ini upaya umat manusia untuk menuju kesamaan pemahaman?’.


Apakah komunikasi merupakan salah satu fungsi dari sistem? Iya, sebagaimana jika kita menganggap (dan mengalami) proses belajar sebagai cepat dan banyaknya informasi yang kita dapatkan. Atau, dalam proses rekrutmen pemerintahan, kita gunakan pemilihan umum yang sebisa mungkin dapat se-efisien mungkin daripada berusaha membuka ruang bagi kritik dan konsensus baru dalam masyarakat dan negara. Contoh yang terakhir bisa jadi adalah jawaban bagi pertanyaan ‘apakah ini upaya umat manusia untuk menuju kesamaan pemahaman?’. Iya, jika dikatakan komunikasi tersistem ini mengatasi permasalahan jarak (mungkin juga waktu). Tapi ingat juga bahwa komunikasi sekarang ini membutuhkan prasyarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu—sebelum komunikasi itu dilakukan. Komunikasi sekarang semakin diukur dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan uang. Dalam lima menit, berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan dalam berkomunikasi (baik itu ketika menelepon, mengakses informasi, ataupun untuk kebutuhan pemilu per pemilih)?


Bisa jadi nanti (atau saat ini?), berkomunikasi akan berarti sama halnya dengan menukarkan uang. Kalau sudah demikian, komunikasi lalu akan menjadi suatu hal yang murni bersifat teknik. Kita hanya dapat berkomunikasi, hanya jika kita memiliki gadget komunikasi tertentu. Gaya hidup yang baik (good lifestyle) menggantikan hidup yang baik (good life). Sebagaimana Habermas ramalkan, dunia kehidupan tergantikan oleh lingkungan sistem:


Subsistem masyarakat yang disebarkan melalui media jenis ini dapat membuat dirinya tak bergantung pada dunia kehidupan (lebbenswelt) yang akan tergeser menjadi lingkungan sistem.”


Adanya M. Nazaruddin dan Kita.

Sejauh ini, tulisan ini tak sedikitpun membahas M. Nazaruddin dan tingkahnya yang bikin heboh beberapa orang. Nazaruddin terlihat penting (terutama oleh media) karena ia mengaitkan petinggi negara ini. Selain karena Nazaruddin hanya mau bersuara lewat media (terutama yang bisa menyajikan secara langsung). Apakah dengan demikian bisa langsung terlihat sifat transaksionalnya?


Jika belum juga bisa terlihat, marilah kita membahas sedikit lebih banyak mengenai kasus M. Nazaruddin ini. Kita tahu kasus M. Nazaruddin ini terkait dengan dugaan korupsi dalam lembaga tinggi negara perumus peraturan di negeri ini—tempat di mana ia bekerja selama ini. Suatu lembaga yang secara ideal—dan semestinya, membahas secara jernih serta mendalam segala hal yang berkaitan dengan masyarakat yang diwakilinya. Dari istilah yang disampaikan Habermas, kita tahu bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah bagian dari sistem negara yang membantu kita untuk mengurus urusan kita. Hanya saja mekanisme dalam DPR ini membantu para wakil rakyat—yang digaji rakyat melalui negara ini—adalah untuk mengadakan pertemuan secara terjadwal guna membahas suatu bidang bahasan tertentu sekaligus mempertemukan aspirasi rakyat yang diwakilinya dengan melakukan tindakan komunikatif.


Dengan mencuatnya kasus M. Nazaruddin (dan beberapa kasus [dugaan] korupsi di DPR lainnya), kita bisa pertanyakan apakah DPR sekarang ini sebagai ruang bagi orang-orang yang memenuhi kepentingannya sendiri, tempat untuk mencari keuntungannya sendiri? Jika benar demikian, produk peraturan macam bagaimanakah yang bakal masyarakat taati? Atau, jika masyarakat mesti mematuhi produk peraturan yang merupakan hasil dari kebijakan orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri dalam DPR, siapakah yang dirugikan dan siapa pula yang banyak diuntungkan?


Selain pertanyaan-pertanyaan spekulatif mengenai dampak tadi, yang kita bisa bahas juga di sini adalah soal sistem itu sendiri. Bisa jadi ramalan Habermas sedang terjadi di negeri kita tercinta ini sekarang. Bahwa sistem telah menjauhkan kita dari dunia kehidupan kita. Jiwa kemanusiaan kita terkucilkan terantah-berantahkan sistem. Karakter pribadi kita dinilai sebatas (potensi) kemampuan kita dalam bertukar. M. Nazaruddin bisa kita jadikan teladan dalam hal ini, jika dugaan korupsi yang dilakukannya terbukti benar.


Dari suatu tempat di suatu bagian Bumi, M. Nazaruddin mengirimkan pesan; bisa dihubungi via telepon dan bercengkerama dengan media. Awalnya—seraya mengiba, dia mengaku sakit dan butuh berobat ke luar negeri. Tapi belakangan, syukur sakitnya sudah membaik, dia lantang menyebut nama-nama dan mengaitkannya dengan sejumlah uang tertentu. Suaranya mengisi berita-berita pagi-siang-sore-malam-dini hari di televisi; berada di muka koran mengisi rubrik berita nasional; menjadi obrolan, sedari para lawyer yang ada di tv sampai obrolan ayah-anak yang menantikan perkembangan kabar Nazaruddin.


Kita kenal M. Nazaruddin dari kasus yang diberitakan media. Siapa dan bagaimananya M. Nazaruddin yang kita tahu, hanyalah sebatas informasi yang disajikan media. Dan itu menjadi rujukan bagi penilaian kita terhadap M. Nazaruddin. Cerdasnya, M. Nazaruddin tahu tentang hal ini; bahwa masyarakat negeri ini akan menjadi pendengar atau penonton yang baik. Ia seakan-akan sedang menunjukkan bahwa dirinya itu terbuka untuk berkomunikasi, untuk berdialog via media. Ia sedang mengupayakan pemahaman dari pihak yang ingin diajaknya berdialog—yang dalam kasus ini, entah siapa atau entah pihak mana. Sampai saat ini, dialog yang benar-benar dilakukan oleh M. Nazaruddin hanyalah dengan media massa yang sedia memberikan space pemberitaan tentang dirinya. Karena bagi media, oplah atau rating masih jadi ukuran.


Di antara riuhnya dialog antara M. Nazaruddin dan media, kita bagaimana? Boleh jadi kita bisa menjadi penonton setia perkembangan beritanya; sebagaimana kita setia kepada sinetron, dengan membiarkan dan atau menonton sinema elektronik itu berlarut-larut sampai beberapa sesi? Kalau memang ini yang kita lakukan, berarti kita tak masalah jika dibuat bungkam—tanpa dialog yang kita terlibat di dalamnya. Karena riuh yang berada di sekitar kita, hanyalah menyediakan kebisuan bagi kita. Sampai nanti ketika kita sudah bosan dibungkam, kita marah dan langsung mengamuk. Atau kita sudah jadikan M. Nazaruddin sebagai teladan bagi kita, dengan mengucilkan jiwa kemanusiaan kita dan men-tuhan-kan sistem? Ataukah kita adalah ruang (sphere) perdikan yang tak lagi pedulikan sistem-sistem kecuali sistem buatan kita dan untuk kita sendiri? Atau...


27 Juli 2011.



Saya banyak mengutip dari buku berjudul Perjumpaan Posmodern: Heidegger, Habermas dan Telepon Seluler (terjemahan), karya George Myerson terbitan Apeiron-Philotes, Yogyakarta cetakan pertama tahun 2003.

1 komentar:

  1. snow peak titanium - Titanium Art
    snow titanium sunglasses peak titanium - a 2017 ford fusion energi titanium small but effective snow sculpture titanium mokume gane designed titanium i phone case by Tita Art. snow peaks or snow peaks or snow titanium daith jewelry peaks in a ski area.

    BalasHapus