12 Agustus 2011

Neoliberalisme: Perjalanan Menuju Legal Democracy


Setelah kita membaca tulisan ‘Selamat Menikmati’ Kebebasan Neoliberalisme?, kita telah memiliki gambaran tentang Neoliberalisme. Kali ini—sebagai kelanjutan dari tulisan tersebut, tulisan ini akan menceritakan tentang Neoliberalisme juga. Hanya saja bahasan kali ini akan lebih terfokus pada pertanyaan ‘bagaimana upaya neoliberalisme agar dapat diterima dalam berbagai aspek kehidupan manusia di seantero jagat?’.

Sebelum memulai bahasan tersebut, marilah kita sedikit mengulas tulisan sebelumnya. Tulisan ‘Selamat Menikmati’ Kebebasan Neoliberalisme? itu tak banyak menyinggung akar munculnya, yaitu Liberalisme yang digagas oleh Adam Smith (1723-1790) dengan The Wealth of Nations-nya (dan kemudian disebut Liberalisme Klasik). Untuk melengkapi, tulisan ini akan membahas aspek kesejarahan dari Neoliberalisme sedari pandangan Liberalisme Klasik yang digagas oleh Adam Smith.

Ekonomi-Politik Liberalisme:
dari Ekonomi melalui Hukum ke Politik
Buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776) terbit di masa dan lokasi yang tepat, yaitu ketika revolusi industri telah mengubah seluruh struktur masyarakat Eropa (Dan W. Nabudere, 1983: 44). Hanya saja, iklim yang terjadi di masa antara abad 16 sampai abad 18 itu adalah persaingan satu sama lain antara negara-negara besar Eropa dalam melakukan eksplorasi, penaklukan, dan kolonisasi berbagai wilayah di dunia untuk mencari emas, perak, dan berbagai logam mulia lainnya. Sebagai orang berkebangsaan Skotlandia, Adam Smith memunculkan gagasan Liberalisme sebagai tanggapan bagi praktik merkantilisme yang diterapkan negara penguasa Commonwealth ketika itu. Merkantilisme yang dilawan Adam Smith ketika itu, tidak lain adalah keyakinan negara bahwa kepentingan nasional hanya bisa dicapai jika kekuatan negara—ketika itu melalui kaum feodal—dipakai untuk memperoleh kekayaan; dengan demikian akan meningkatkan kekuatan yang lebih besar lagi melalui peningkatan kemampuan memproduksi dan membeli senjata. Karenanya, Bapak Liberalisme ini cenderung mem-perhatikan sisi buruk negara; dan melalui karyanya itu, ia mencegah potensi kekuasaan negara yang dapat mengganggu perubahan struktur masyarakat akibat revolusi industri yang terjadi di Eropa ketika itu.
Senada dengan Francois Quesnay (1694-1774), Smith menggelorakan semangat ‘laissez-faire, laissez-passes’—yang secara harfiah berarti ‘biarkan saja, biarkan lewat,’ bagi perdagangan bebas yang berdasarkan ‘international division of labour and specialization’. Bagi Smith, perdagangan merupakan akibat dari produktivitas tinggi yang dihasilkan revolusi industri; dan uang merupakan kendaraan bagi pendistribusian barang, bukan untuk timbunan kekayaan. Smith percaya bahwa mekanisme pasar—yang berlaku sebagai ‘tangan tak terlihat’ (invisible hand), dapat diandalkan bagi terpenuhinya kepentingan publik. Sekaligus, ia pun meragukan peran negara yang menjanjikan terpenuhinya kebutuhan tersebut, sebagaimana dipaparkan dalam tulisannya berikut ini:
Ia umumnya, tidak bermaksud memperjuangkan kepentingan umum, ia juga tidak tahu seberapa jauh ia memperjuangkannya. Dengan mengutamakan dukungan pada kegiatan industri domestik, bukan pada industri asing, ia bermaksud menjamin keamanannya sendiri; dan dengan mengarahkan industri itu sedemikian rupa sehingga hasil produksinya sendiri yang bisa memperleh harga paling tinggi, sekali lagi, ia berniat menjamin keuntungannya sendiri, dan dalam kasus ini, seperti halnya dalam kasus-kasus lain, ia dibimbing oleh ‘tangan yang tak terlihat’ untuk (sekaligus) mengejar suatu tujuan yang tidak diniatkannya. Bagi masyarakat, tujuan yang dikejar tetapi tanpa diniatkan itu, juga tidak merupakan persoalan. Dengan mengejar kepentingannya sendiri ia seringkali (malah bisa) memenuhi kepentingan masyarakat dengan lebih efektif daripada kalau sejak awal ia memang niatkan untuk mengejar kepentingan masyarakat. Setahu saya, tidak banyak kebaikan yang dihasilkan oleh mereka yang sejak awal menyatakan akan menjalankan pekerjaan demi kebaikan umum. ” (dikutip dari Mohtar Mas’oed, 1998: 8-9)
Melihat buruknya perangai negara di masa kejayaan merkantilisme itu, pelopor liberalisme ini berpendapat bahwa keadaan itu hanya bisa diperbaiki kalau masyarakat punya kebebasan individual, perserikatan yang sukarela, dan rasionalitas. Dari sini, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah ‘apa jaminan agar prinsip-prinsip ini bisa berlangsung?’. Kita pun bisa langsung menunjuk pada peran negara, yaitu untuk menjalankan sedikit urusan yang tidak bisa dikerjakan sendiri oleh para individu. Negara masih dibutuhkan untuk membentuk sistem hukum, menjaga keamanan, dan membuat uang.

Sebagaimana disebutkan David Held, pandangan (neo-)liberalisme senantiasa memegang teguh diktum John Locke (1632-1704) yang berbunyi ‘Wherever Law ends, Tyranny begins’. Dan hukum dibuat untuk mengikat negara guna menjamin ‘hidup (life), kebebasan (liberty), dan pemilikan (estate)’ seluruh individu-individu dalam negara (David Held, 1987: 249). Melindungi hak individual itulah alasan adanya (raison d’etre) negara. Senada dengan Locke, filsuf Perancis bernama Charles-Louis de Secondat, Baron de Montequieu (1689-1755) pun menggagas cara agar suatu rezim dapat mengabdikan diri pada kebebasan dan dapat meminimalisir korupsi juga tak memonopoli hak-hak istimewa. Ia menggagas ‘pemerintah yang konstitusional (constitutional government)’ sebagai mekanisme untuk menjamin hak-hak individual (Held, 1987: 55). Itulah mengapa ia menggagas kekuasaan negara yang impersonal melalui sistem perwakilan dan trias politica. Selain Locke dan Montequieu, gagasan liberalisme ini disokong oleh beberapa nama, yaitu: James Madison (1751-1836), Jeremy Bentham (1748-1832), dan James Mill (1773-1836). Beberapa nama yang disebut belakangan ini menggagas berbagai mekanisme demokrasi politik liberal (misal: secret ballot dan voting) yang membuat warga negara merasa puas dalam memilih, memberi otoritas, dan mengontrol keputusan politik (Held, 1987: 61).

Tak berhenti sampai di situ, anak dari James Mill, yaitu John Stuart Mill (1806-1873) melanjutkan pemikiran liberalisme ini. Mill tak menampik prestasi liberalisme dalam melemahkan kekuasaan negara dan memperkuat kebebasan individual. Tetapi menurutnya, penting juga memperluas peran negara dalam kesehatan masyarakat, bantuan bagi orang miskin, dan terutama dalam bidang pendidikan anak. Melalui peran serta negara dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka pengembangan diri individu akan terwujud secara merata sehingga kebebasan individual pun tetap bisa langgeng; lagipula, negara lebih memiliki kekuatan pemaksa yang memadai jika digunakan dalam bidang kesejahteraan sosial daripada individu tertentu.

Belajar dari Krisis
Sementara Mill memandang peran serta negara dapat menjamin ketersediaan sarana bagi kebebasan individual, John Maynard Keynes (1883-1946) memperluas peran negara dalam mengentaskan pengangguran (full employment). Tiga kejadian penting abad 20 membentuk gagasan Keynes, yaitu: Perang Dunia I, munculnya Uni Sovyet, dan malaise tahun 1930an. Terutama karena pengalaman malaise tahun 1930an, ia berpendapat bahwa individu dan pasar cenderung membuat keputusan yang tak bijaksana ketika dihadapkan dengan situasi yang tak terprediksikan. Bagi Keynes, individu dan pasar tak punya cara yang efektif dalam membagi beban resiko dan untuk meng-koordinasikan tindakan-tindakan individu yang saling berbenturan. Dengan anggapan ini, Keynes berupaya untuk mengatasi masalah-masalah yang tak dapat diatasi oleh mekanisme invisible hand.

Melalui karyanya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936), Keynes membidik fungsi uang sebagai penyimpan daya beli atau kekayaan (store of value atau store of wealth) yang mesti ‘dimainkan’ oleh pemerintah dan bank sentral (Boediono, 1982: 17). Karena hanya dengan ‘jaminan kepastian atas resiko’ dari pemerintah dan (terutama) dengan tingkat bunga yang ditentukan oleh bank sentral, individu-individu itu akan tertarik untuk memperoleh laba dengan berspekulasi (dengan harapan akan mendapatkan capital gain) melalui pembelian obligasi. Sehingga uang tunai tersedia untuk diputar kembali kepada para peminjam yang (mungkin juga) bertujuan untuk membuka usaha, dengan demikian lapangan pekerjaan pun akan terbuka. Dari gagasan Keynes pulalah, muncul program-program asuransi pengangguran, jaminan sosial, dan asuransi deposito bank.

Gagasan Keynes ini mewarnai kebijakan ekonomi politik internasional pasca Perang Dunia II sampai tahun 1970an dalam sistem nilai tukar tetap Bretton Woods, yaitu sistem nilai tukar yang dibangun di atas standar emas-dollar. Selain merancang sistem nilai tukar, perundingan ini juga menghasilkan sekumpulan lembaga internasional, yaitu: World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, yang merupakan cikal bakal dari World Trade Organization [WTO]). Sebagai hasil perundingan para pemimpin Sekutu pada tahun 1944, sistem ini sepenuhnya murni merupakan kemenangan kaum kapiltalis—baik kapitalis nasional (yang berkembang akibat kebutuhan perencanaan ekonomi di masa perang) maupun kapitalis internasional (yang menginginkan sebuah perekonomian dunia yang terbuka setelah perang). Pada jantung sistem tersebut bekerjalah maksimisasi perdagangan internasional dan stabilitas mata uang, sebagaimana diinginkan oleh para pembuat kebijakan Amerika Serikat (Muhadi Sugiono, 2006: 64-65).

Dalam sistem nilai tukar Bretton Woods ini, dollar AS (akhirnya) berfungsi layaknya poros bagi roda—seperti Belanda (abad 18) dan Inggris (abad 19). Sebagai negara anggota Sekutu satu-satunya yang memperoleh laba besar dari PD II, Amerika Serikat memasok dollar ke sistem dunia dan berhasil merangsang pasar baru (juga berinvestasi) di Eropa dan Jepang bagi penjualan barang dan jasa AS (Nabudere, 1983; Mas’oed, 1997). Namun di akhir 1960an dan awal 1970an, beban sebagai penjaga stabilitas finansial ini dinilai terasa berat ketika berbarengan dengan beban pembiayaan ‘perang melawan kemiskinan ala Keynes’, beban bermiliar-miliar dollar untuk impor minyak bumi (karena bangkitnya Organization of  Petroleum Exporting Countries [OPEC] melonjakkan harga minyak bumi), dan beban pembiayaan perang Vietnam. (Sebagai negara pengekspor minyak bumi, kita bisa bandingkan dengan kondisi Indonesia di masa itu.) Di sisi lain, Amerika pun harus bersaing dengan Eropa dan Jepang—yang mulai tumbuh mandiri. Sehingga Amerika harus memilih antara ekonomi domestiknya sendiri atau menjalankan tanggung jawab internasional; yang pada akhirnya, pilihan AS untuk mengakhiri sistem nilai tukar Bretton Woods ini pun melemahkan ekonomi internasional, begitu juga Amerika.

Di masa itulah, Milton Friedman (1899-1992) dan Friedrich von Hayek (1912-2006) menggagas kembali bangkitnya Liberalisme Klasik (yang disebut juga sebagai Ekonomi Neoklasik). Hayek dan Friedman —yang masing-masing memperoleh hadiah Nobel di  bidang ekonomi tahun 1974 dan 1976 ini, menuding kebijakan para ekonom Keynesian untuk inflasi yang ditimbulkan karenanya. Selain dianggap telah menimbulkan konsekuensi negatif bagi pertumbuhan ekonomi, gaya ‘social democratic’ atau ‘welfare-state’ yang dibawa Keynes ini pun dianggap sebagai pengancam kebebasan individual (Held, 1987; Sugiono, 2006). Hayek menentang keras model welfare-state yang telah menggantikan ‘kesamaan kesempatan’ dengan ‘persamaan pendapatan’ (Sugiono, 2006: 137). Sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, tindakan negara yang turut merencanakan ekonomi merupakan langkah menuju negara totaliter—yang ironisnya, bisa terjadi di negara yang demokratis. Itulah sebabnya Hayek menunjukkan kontradiksi antara kapitalisme dan demokrasi. Demokrasi mempunyai potensi untuk disalahgunakan dan menjadi tirani mayoritas—di mana mayoritas rakyat menggunakan jumlah mereka sebagai kekuatan untuk mewujudkan ide-ide dan agenda mereka bagi seluruh masyarakat; dan bagi Hayek, model welfare state yang diterapkan para ekonom Keynesian itu merupakan bentuk ‘penyalahgunaan demokrasi’ (Held, 1987; Sugiono, 2006).

Hayek menggagas upaya mencegah penyalahgunaan demokrasi ini. Ia yakin bahwa selama ada aturan yang membatasi tindakan mayoritas rakyat dan pemerintah, kebebasan individual akan terjamin. Tirani mayoritas dan paksaan pemerintah bisa ditahan, jika dan hanya jika aturan hukum (Rule of Law) dihormati. Akan tetapi, kita perlu tahu apa yang dimaksud Hayek dengan Rule of Law itu. Hayek membedakan antara ‘Law’ dan ‘Legislation’. Law, dalam pengertian Hayek adalah prinsip esensial umum (konstitusi) yang baku dan meng-kerangkai tindakan-tindakan individu; sedangkan legislation adalah rutinitas legal (kebijakan) yang merupakan kerjaan pemerintah (Held, 1987: 248-249). Legislation haruslah berdasarkan Law.

Hukum, dalam pengertian law ini, dinilai Hayek sebagai kunci bagi terlaksananya prinsip liberalisme dan demokrasi. Baginya, liberalisme adalah doktrin yang mesti termuat dalam hukum; sedangkan demokrasi, adalah doktrin tentang tata cara bagaimana hukum itu dipatuhi (Held, 1987: 248). Karena prinsip liberalisme menjadi hukum tertinggi yang tak bisa diganggu-gugat dan harus dipatuhi, maka  Inilah alasan kenapa pandangan Neo-liberalisme disebut juga sebagai Neo-konservatisme (yang para pendukungnya adalah kaum konservatif yang menjaga nilai-nilai negerinya [di Amerika praktisi utamanya adalah Ronald Reagan, sedangkan di Inggris adalah Margareth Tatcher]). Sehingga itulah kenapa ia menyebut orang yang memiliki pendapat ‘demokrasi merupakan kehendak (tak terbatas) dari rakyat banyak,’ bukanlah seorang pendukung demokrasi. Dengan kata lain, inilah alasan Hayek menentang apapun bentuk intervensi negara atas pasar (seberapapun kerasnya jeritan mayoritas rakyat suatu negara [baca: rakyat Indonesia] meminta pertolongan, tetap tidak akan dipedulikan). Berikut adalah bagan ‘bentuk ideal demokrasi’ dalam pandangan kaum neoliberal:

Legal Democracy
Principle(s) of justification:
·   The majority principle is an effective and desirable way of protecting individuals from arbitrary government and, therefore, of maintaining liberty.
·   For political life, like economic life, to be a matter of individual freedom and initiative, majority rule, in order for it to function justly and wisely, must be circumscribed by the rule of law.
Key features:
·   Constitutional law (modelled on features of the Anglo-American political tradition, including clear separation of powers).
·   Rule of law
·   Minimal state intervention in civil society and private life
·   Free-market society given fullest possible scope
General conditions:
·   Effective political leadership guided by liberal principles
·   Minimization of excessive bureaucratic regulation
·   Restriction of role of interest groups (e.g. trade unions)
·   Minimization (eradication, if possible) of threat of collectivism of all types
Sumber: David Held, 1987. Models of Democracy. p. 251

Penutup
Mengenai resep kebijakan ekonomi menurut Neoliberalisme, John Williamson menyebutnya sebagai Washington Consensus. Semoga pengetahuan ini menjadi perhatian bagi pemerhati dan pembahas RUU-RUU dan UU-UU di negeri ini.

(Semoga) Merdeka!

13 Agustus 2011

Sumber Referensi:
Boediono, 1982 (cetakan kedua). Teori Moneter. Yogyakarta: BPFE-UGM.
Held, David, 1987. Models of Democracy. UK: Polity Press and Basil Blackwell Ltd.
Mas’oed, Mohtar, 1997. Isyu Moneter dalam Ekonomi-Politik Internasional. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar, 1998. Liberalisme dalam Ekonomi-Politik Internasional. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Nabudere, Dan W., 1983 (Third Impression). The Political Economy of Imperialism. Tanzania: Zed Press.
Sugiono, Muhadi, 2006 (cetakan kedua). Kritik Antonio Gramxci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar