02 Agustus 2011

'Selamat Menikmati' Kebebasan Neoliberalisme?

Apa jadinya pelaksanaan demokrasi (politik) prosedural di antara kondisi masyarakat yang kesenjangan ekonomi-nya tinggi? Kesenjangan ekonomi yang tinggi membagi masyarakat dalam dua kelompok. Satu kelompok yang terdiri dari banyak orang yang tidak memiliki apa-apa. Kelompok lain, terdiri dari sedikit orang yang memiliki segala-galanya. Dalam demokrasi politik, setiap orang memiliki hak politik yang sama; tetapi tidak dalam hak ekonomi, karena ketimpangan yang terjadi. Akibatnya, nilai ekonomis setiap hak pilih akan berbeda pada setiap orang. Perbedaan harga hak pilih ini membuka peluang keuntungan melalui perdagangan suara. Kondisi ini memungkinkan bagi satu kelompok (yang rela) menjual hak pilihnya kepada kelompok lain yang memerlukan dan mampu membeli. Bagi calon yang memperoleh banyak suara tetapi memiliki aset yang sedikit, (bisa jadi) akan menjadikan perolehan suaranya itu sebagai ‘pertimbangan’ bagi sejumlah orang yang memiliki aset ekonomi yang besar. Selain makna demokrasi politik yang menjadi bias dengan kepentingan ekonomi, kondisi ini juga mempertahankan konsentrasi ekonomi pada sejumlah orang yang memiliki segala-galanya itu.


Gejala di atas membuat kita bertanya-tanya (kalau tabu untuk dikatakan curiga): mengapa model demokrasi politik prosedural yang dipilih untuk kita laksanakan, jika kita tahu terdapat kesenjangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat? Karena orang awam pun tahu, jangan banyak berharap dari orang yang lapar untuk bisa serius obrolkan suatu tema penting bagi masyarakat; kecuali jika dengan obrolkan hal tersebut, dia dijanjikan makanan. Dengan perkataan lain, tumbuhnya demokrasi politik tak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi. Tentunya penalaran ini bisa dipahami dan diketahui oleh banyak orang, termasuk pembuat kebijakan di negeri kita tercinta ini—apalagi bagi yang mengimani basis ekonomi sebagai penentu terbentuknya struktur dalam masyarakat. Para ekonom pun paham bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ekonomi, sejatinya diawali dengan pandangan normatif tentang manusia dan atau masyarakat. Sebagaimana Amir Effendi Siregar mengutip Peter L. Berger dalam pengantar buku yang dieditnya:


Mereka yang menghendaki kepastian janganlah menoleh kepada ilmu. Mereka harus beribadat di kuil ideologis pilihan mereka dan menentukan pilihan itu dengan nurani mereka. Tetapi pekerjaan ilmiah memiliki ganjaran-ganjarannya sendiri, baik secara intelektual maupun moral … sifat ilmu tidak bisa menghasilkan kepastian-kepastian profetik, hanyalah kemungkinan-kemungkinan, kesimpulan-kesimpulan yang bisa dijungkirbalikkan oleh pembuktian berikutnya.”


Senada dengan pendapat Berger, tulisan ini juga ingin menelisik “berkiblat pada ‘kuil ideologis’ apakah sistem perekonomian negeri ini?”. Tulisan ini akan mengawali langkah—semoga saja niatan ini bisa memunculkan seri tulisan lebih lanjut, melalui anggapan pihak tertentu bahwa negeri ini adalah penganut Neoliberalisme. Dalam pembacaan yang konspiratif, negeri ini menerima resep pelaksanaan demokrasi politik prosedural agar suatu ketika bisa sadar bahwa negeri ini juga amat sangat membutuhkan resep lain, yaitu suatu ‘tatanan kebebasan ekonomi’. Bagi yang percaya bahwa kebijakan ekonomi negeri ini sudah neoliberal—masih dalam kerangka anggapan konspiratif yang sama, pelaksanaan demokrasi politik prosedural di negeri ini bertujuan untuk meng-efisien-kan proses kelembagaan agar makin sesuai dengan mekanisme ekonomi neoliberal. Sehingga mekanisme yang bekerja bisa makin lancar lagi. Baiknya kita tak mengimani anggapan ini sebelum kita tahu benar gagasan macam apakah neoliberalisme itu; dan bagaimana bisa ada orang yang mengatakan bahwa negeri ini menganutnya. Dan untuk mengetahui Neoliberalisme inilah, tulisan ini dibuat.


Sebelum beranjak pada obrolan tentang Neoliberalisme, tulisan ini sedari awal tidak memisahkan antara ekonomi dan politik. Karena fungsi pasar dan negara (seringkali) tumpang-tindih. Negara berfungsi untuk mengalokasikan dan mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan pasar, berfungsi untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya. Orang yang mengendalikan sumber daya di masyarakat bisa memiliki kekuasaan, begitu juga sebaliknya. Hanya saja kaitan antara keduanya seringkali digambarkan sebagaimana pendulum, di mana negara dan pasar berada pada dua titik ekstrim yang saling berhadapan. Posisinya bisa jadi setimbang, bisa juga condong pada salah satu darinya.


Dari sebuah Ordo ke Masyarakat Pasar


Neoliberalisme adalah sekte sempalan pemikiran Ordo-Liberal. Sebagai suatu kelompok pemikir yang berada dalam suasana 1930-an di Jerman, para pemikir Ordo-Liberal (Walter Eucken dan Franz Bohm) melalui jurnal Ordo muncul dengan pokok-pokok pikiran: pertama, pasar bukanlah peristiwa alami. Pasar bisa dibentuk, diubah, dan dihancurkan. Pasar selalu membutuhkan tindakan politik dalam membentuk nilai-nilai moral dan kultural bagi pengadaan barang/jasa ekonomi, sekaligus juga mencegah kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural. Tindakan politik macam ini mereka sebut dengan vitalpolitik. Kedua, pasar merupakan salah satu relasi yang diciptakan untuk membantu pengadaan barang/jasa bagi hidup-bersama, dan dinamika sosial tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar tanpa kerangka tata-sosial. Perdebatan tentang perubahan terletak dalam pertanyaan ‘sejauh mana kinerja pasar membantu terjadinya kontrak sosial. Ketiga, agenda tranformasi ekonomi terletak dalam upaya mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut kontrak sosial. Di sini, tugas tata-pemerintahan adalah untuk menjaga tegangan antara individualitas dan tatanan masyarakat.


Dalam perkembangan pemikiran Ordo-Liberal ini, Neoliberalisme muncul dengan gagasan utamanya, yaitu segala tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan dan kebebasan itu hanya bisa terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasi-relasi spontan. Ekonomi pasar-bebas itulah locus dan model spontanitas dan kebebasan itu. Dan segala bentuk ekonomi yang terencana adalah road to serfdom, sebagaimana Friedrich von Hayek tuliskan. Aturan yang berlaku bagi ekonomi pasar-bebas ini adalah segala macam batasan (baik itu politik, sosial, kultural, hukum serta regulasi pemerintah) janganlah campur-tangan. Selain Friedrich von Hayek yang sudah disebutkan tadi, kawan-kawan Hayek di Universitas Chicago pasca PD II yang menjadi penggerak utama mazhab Neoliberalisme ini adalah: Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler.


Neoliberalisme mengakui ragam relasi manusia seperti politik, sosial, kultural, hukum, dll; tapi bagi gagasan ini semuanya itu dipandu oleh prinsip transaksi untung-rugi dalam kinerja ekonomi pasar. Dengan menitikberatkan pada spontanitas dan kesukarelaan dalam kebebasan, para pemikir neoliberal ini mendaulat ekonomi pasar-bebas sebagai kebebasan sejati. Gary Becker menyebutkan, “ekonomi memberikan pendekatan paling komprehensif untuk memahami semua prilaku manusia…. Pernyataannya ini ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya sejatinya manusia adalah homo oeconomicus. Sehingga berkembanglah patokan tentang siapa manusia, bagaimana ia harus menjadi, bagaimana ia harus berpikir dan dipikirkan, juga bagaimana ia harus bertindak dan berelasi. Kelanjutan dari itu semua adalah bagaimana mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Tidak hanya barang/jasa saja yang harus ditentukan oleh kinerja pasar, neoliberalisme meradikalkannya dengan gagasan ‘semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar’ dan menuntut ‘prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa’.


Dengan memandang semua relasi manusia sebagai relasi pasar, neoliberalisme mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia sejati yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Sesuai dengan gagasan ini, model manusia sejati adalah pelaku bisnis atau pengusaha. Oleh karena model manusia sejati adalah pengusaha, maka setiap orang yang ingin menjadi manusia sejati—dalam pandangan neoliberal—mestilah melihat dan mengubah dirinya sesuai dengan idiom bisnis dan pasar. Artinya, segala sesuatu yang ada pada orang tersebut adalah modal yang mesti diubah menjadi laba. Dari sinilah berkembang suasana kultural baru, yaitu penentuan identitas diri dan mengadakan relasi-relasi berdasarkan pada kapitalisasi segala bidang kehidupan.


Kita tahu bahwa tak selalu untung yang didapat pengusaha. Ia bisa jadi rugi sampai jatuh miskin atau menganggur; dan kerugiannya itu adalah akibat dari tindakannya sendiri. Dalam pandangan neoliberal, kemiskinan dan pengangguran bukanlah masalah sosial, melainkan sebagai kegagalan mengubah aset diri menjadi laba. Maka program jaminan sosial menjadi tak mempunyai alasan untuk diadakan. Kita pun akan dengan mudah menelusur bidang kehidupan lain seperti pendidikan dan kesehatan dalam pandangan neoliberalisme ini. Tidak ada pendidikan, yang terjadi adalah bisnis sekolah. Tidak ada juga kesehatan, tetapi bisnis rumah sakitlah yang tumbuh-berkembang. Sehingga bukan pasien yang datang ke dokter, tetapi konsumen pengobatan. Juga bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya, jika segala aspek kehidupan masyarakat dan segala relasinya berdasarkan relasi pasar, maka sebutan Masyarakat Pasar akan tepat jadinya.


Kita pun tahu kelanjutan dari nalar ini jika meng-atribut-kan homo oeconomicus —sebagai model kodrat manusia sejati—pada pemerintah suatu wilayah tertentu. Pejabat pemerintahnya tentu akan berupaya untuk menjajakan wilayah dan sumber daya apapun yang bisa ditawarkan kepada investor. Suatu kebijakan akan dinilai sukses bilamana dapat menghasilkan laba dengan menarik investasi dalam bidang apapun, entah itu pertanian, sekolah, rumah sakit, maupun mall.


Dengan bantuan percepatan dan kecepatan teknologi komunikasi, neoliberalisme memungkinkan banyak jenis transaksi baru—yang pada awalnya adalah bidang-bidang yang secara tradisional bukanlah bidang ekonomi. Jenis transaksi-transaksi baru ini mengabaikan ekonomi sektor riil, karena jenis transaksi ini lebih mengutamakan pemanfaatan nilai tukar daripada fungsionalitas dari sesuatu hal. Contohnya adalah spekulasi nilai mata uang. Uang tak lagi hanya berfungsi sebagai alat tukar, melainkan juga bisa digunakan sebagaimana halnya karcis lotere. Misalnya, orang membeli dollar AS dengan harapan suatu kali nilainya akan naik, dengan demikian akan memberikan keuntungan ketika dijual kembali. Inilah mengapa David Harvey menyatakan bahwa “neoliberalisme juga berarti finansialisasi segalanya”. Itulah yang menjelaskan terjadinya ledakan transaksi finansial maya dengan istilah yang beraneka ragam (hedge funds, derivatives, forwards, futures, dll) dan dalam kondisi ini memungkinkan munculnya banyak brokers dan makelar.


Daya Beli = Kebebasan?


Marilah sejenak kita memberi jeda bagi pembicaraan tentang gagasan kebebasan. Kebebasan adalah gagasan tidak-adanya pembatasan pada seseorang. Kebebasan seseorang dibatasi oleh rintangan yang timbul dari tindakan bebas dari orang lain, baik itu disengaja maupun tidak. Dan ada-tidaknya pembatasan, menentukan ada-tidaknya alternatif tindakan. Inilah rumusan tentang kebebasan, yang pada akhirnya mengaitkan tindakan dan pilihan. Sehingga kebebasan bukan hanya tergantung pada tidak-adanya pembatasan saja, melainkan juga dari tersedianya sarana untuk melakukan pilihan tindakan. Misalnya, kebebasan berbicara tidak hanya men-syarat-kan tidak-adanya sensor, tapi bagaimana bisa seseorang membicarakan pendapatnya tentang tema tertentu jika orang tersebut tidak makan selama beberapa hari?


Ibarat jalan, kebebasan adalah jalan menuju ke mana saja. Kebebasan bisa disandangkan kepada suatu hal yang dianggap bernilai. Suatu hal yang bernilai ini menyangkut tindakan dan pilihan tertentu yang dianggap penting. Misalkan: ‘kebebasan berbicara’ menjadi penting karena tindakan berbicaranyalah yang penting; bukan kebebasannya. Begitu juga dengan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan bekerja’, ‘kebebasan beragama’, dll. Sama halnya dengan ‘kebebasan modal’ (free movement of capital); yang penting di sini bukanlah kebebasan itu, melainkan yang utama adalah gerak modalnya. Dan jika ‘kebebasan’ tidak disandangkan pada suatu tindakan dan pilihan yang dianggap penting, maka ‘kebebasan’ ini akan berupa gagasan semata.


Persoalan yang timbul dari beragamnya hal penting yang mengikuti kata ‘kebebasan’ ini adalah “bagaimana jika konflik terjadi antara berbagai jenis kebebasan itu—misal, antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’?”. Sementara ‘kebebasan modal’ melibatkan kebebasan para investor untuk datang dan pergi, sedangkan ‘kebebasan bekerja’ menyangkut hak para buruh atas kerja-upahan. Konflik macam ini bisa terjadi karena penetapan pilihan atau tindakan apa yang lebih penting dibanding pilihan atau tindakan lain; dan, penetapan itu menjadi penentu arah ‘kebebasan’. Dalam hal ini, David Harvey kembali berpendapat, “Dalam konflik antara hak-hak yang sama atas kebebasan, kekuasaanlah yang menentukan.”


Untuk menjawab contoh persoalan konflik antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’, marilah kita kembali kepada bahasan Neoliberalisme. Kita mungkin sudah bisa bayangkan ‘bagaimanakah kondisi Masyarakat Pasar yang segala-galanya berorientasikan laba?’. Kita tahu bahwa pilihan atau tindakan yang penting bagi pandangan Neoliberalisme adalah menghasilkan laba. Karena Neoliberalisme meyakini bahwa manusia secara kodrati adalah homo oeconomicus, maka tak ada raja juga tak ada orang pinggiran. Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Inilah pergerakan manusia yang dimotori oleh kompetisi. Kebebasan, bagi Neoliberalisme, adalah kesamaan kesempatan.


Pada praktiknya, seseorang dikatakan bebas jika ia bisa memilih berdasarkan seleranya. Artinya, setiap tindakan manusia bebas memiliki preferensi tindakannya masing-masing. Hanya saja, para makhluk ekonomi (homo oeconomicus) dalam Masyarakat Pasar ini mempunyai preferensi yang khas, yaitu daya beli (purchasing power). [Maka] adalah hal yang logis jika dalam Masyarakat Pasar yang digerakkan oleh kompetisi ini, orang-orang akan menumpuk pundi-pundi modal yang mestilah menghasilkan laba. Itulah yang menjelaskan ekspansi proses komersialisasi ke semakin banyak bidang kehidupan—dari warna rambut sampai pengetahuan, dari biji padi sampai jabatan. Selain itu, adagium yang berlaku di sini adalah ‘the highest bidder, the winner’; maka wajar jika perlakuan istimewa diberikan kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan bukan kepada usaha mikro nan/dan kecil. Itulah mengapa konflik antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’—investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Ini pula yang menyebabkan kita harus menanggung beban (melalui ‘bantuan likuiditas’ negara) ketika para bankir besar dilanda krisis finansial. Karena alasan daya beli ini, ‘kebebasan modal’ selalu menjadi pemenang jika berkonflik dengan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan pers’, kebebasan beragama’, dll.


Dalam tatanan Masyarakat Pasar menurut Neoliberalisme, prinsip pasar menjadi penentu relasi-relasi segala bidang kehidupan. Hal ini memberi konsekuensi bahwa akses kebebasan ditentukan oleh daya beli ke dalam segala bidang kehidupan. Jika pada akhirnya daya beli adalah penentu bagi ‘kebebasan’, maka ke manakah ‘kesamaan kesempatan’ yang digagas Neoliberalisme? Atau, bisa dibilang bahwa kebebasan yang digagas Neoliberalisme ini bersyaratkan daya beli. Dengan perkataan yang lebih lugas, ‘anda bisa nikmati kebebasan, hanya jika anda mampu membayarnya’. Sehingga, kebebasan yang digagas oleh Neoliberalisme ini bersifat kontradiktif (dan diskriminatif dalam penerapannya).


[Bukan] Akhiran…


Sekarang, kita bisa kembali pada bagian awal tulisan ini. Dan kembali bertanya, “apakah Neoliberalisme adalah ‘kuil ideologi’ bagi negeri ini?”.


[Semoga] Merdeka!



2 Agustus 2011.




Saya banyak mengutip dari tulisan berjudul Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan yang ditulis oleh B. Herry Priyono, yang ia sampaikan sebagai refleksi dalam acara “Pidato Kebudayaan” DKJ di Taman Ismail Mazuki, Jakarta, tanggal 10 November 2006. Sedangkan buku yang diedit oleh Amir Effendi Siregar, berjudul Arus Pemikiran Ekonomi Politik: Esai-Esai Terpilih, yang diterbitkan tahun 1991 oleh Tiara Wacana, Yogyakarta. Untuk ‘gejala’ yang saya jadikan paragraf pembuka, saya dapatkan dari Prof. Syafruddin Karimi, SE, MA, PhD. dalam tulisannya berjudul Manifesto Demokrasi Ekonomi: Sistem Pasar dan Keadilan Sosial sebagai Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, tanggal 9 Oktober 2010.


1 komentar:

  1. dulu waktu wapres sekarang mau nyalon bareng presidennya, banyak yang protes soal neoliberalisme.. oo.. jadi ini toh..
    mmm...gitu yah.. lalu kenapa kita ga sadar kalo neoliberalisme itu (hampir) sudah jadi bagian dari hidup kita? mm..

    BalasHapus