20 Maret 2009

.....

Sebentar lagi, aku akan tidur, Sayang. Hanya beberapa kata lagi saja, kok. Tulisan ini, memang tak ada guna jika kau baca. Tapi, hanya inilah yang kubisa. Bukan raupan untung yang dapat dihasilkan dari tulisan ini, aku tahu. Hanya, inilah yang dapat membuat kita dapat bicara dengan orang luar. Kau tahu sendiri, kita diantahberantahkan begini. Benar, bahwa itu akibat dari tulisanku juga. Tapi, dengan tulisan ini jugalah nantinya orang akan mengerti mengapa kita diantahberantahkan. Aku tahu, bukan soal tulisan yang kau tentang. Tapi, kau tentang kebiasaanku menulis ketika malam. Sedangkan di siang, kau pergi ke pasar dan berdagang. Kau paham benar kebiasaanku yang tak lelap tidur, "selalu saja bergemeretak, gigimu," itu komentarmu tentang tidurku yang hanya satu atau dua jam sehari. Sedangkan, makanku pun kau komentari, "mana bisa kuat, lha wong makan saja sehari sekali."

Siang, kau tahu aku di mana. Jika bukan di amben, mestilah di belakang meja bersama koran-koran dan buku-buku usang. Kau hapal benar dengan ucapanku, sambil menyapu bawah meja, kau ulangi dengan manyun dan tiruan suaramu yang khas, "kertas-kertas kosong ini menerorku." Iya, kubalas saja kau dengan "kau tampak cantik ketika marah."

Sayang, kau seperti tokoh Karisuta dalam sebuah novel, yang garang ketika berhadapan dengan tamu-tamuku. Entah agar kau kubilang cantik, atau memang kau berupaya melindungiku yang kau anggap lemah ini. Atau memang benar, kau menyayangiku. Ah, kejamnya aku. Iya, kau menyayangiku. Sedari awal, kau tahu kebiasaan dan tabiatku. Aku yang tak suka pergi ke mall, senang duduk di pohon rindang. Katamu, aku demit. Iya, kujawab. Dan kita berdua tertawa bersama.

Di pasar, kau buatku begitu terhormat. Bagaimana bisa orang-rang pasar memanggilku dengan sebutan 'guru', hah??!! Sekali ini, kau benar buatku bingung sekaligus malu. Ah, tak apa. Kau buat alasan kecil yang sangat berarti untukku. Tentu susah payah kau buat alasan itu. Tentu, yang membuat mereka percaya adalah segala ucapanmu sendiri yang begitu mengagumkan sehingga dapat diterima mereka. Pernah sekali kuperhatikan kau di pasar, sebelum aku mengantarkan sepeda, kau bukanlah berdagang. Tapi justru kau menjadi 'guru' di antara 'murid-murid' pasar. Sepulang dari pasar, kau kutanyai soal itu, kau bilang, "ah.... cuma sedikit dari omonganmu kok, Mas. ndak boleh?"

Kita tak pernah tahu masing-masing kita siapa, satu sama lain. Kau bilang kau pedagang, kau sebut aku demit. Aku bertanya juga, akhirnya padamu, bagaimana tentang keluargamu, bagaimana tentang teman-temanmu, bagaimana tentang sekolahmu. Ya... segala tentang latar belakangmu. Kau jawab, "ngapain ngurusin yang udah mati, yang penting itu, hidup kita sekarang ini. biar ndak mumet. mendingan, kita hidup bareng, bahagia. kita mau punya anak berapa, itu yang mesti kita omongin. hayo, Mas mau ndak, punya anak dari saya?"

....