20 November 2011

masa' massa bodoh?

Nietzsche bilang bahwa massa adalah salinan kabur dari orang besar, pembangkangan terhadap orang besar, atau alat bagi orang besar. Sekalipun metafora itu tak mencukupi sebab terjadinya dan apa saja faktor penyokong pada massa, ketiga gambaran tentang massa itu cukup memberikan bayangan yang mengerikan. Massa diibaratkan sebagai sosok ‘orang besar’, yang entah karena bentuknya atau dalam artian konotatifnya, secara tak langsung mengarahkan pada kedekatan dengan kekayaan dan kekuasaan. Yang artinya ia memiliki ‘tongkat pemukul’—merujuk pada kuasa, dan sekaligus ‘uang’—merujuk pada kaya, di tangannya. Di tangannya terdapat iming-iming imbalan dan perlambang amarah. Itulah orang besar. Pantas jika kita ‘memandang’ massa—ketika kita tidak menjadi bagian dalam massa, mestilah tersajikan gembar-gembor tentang ‘harapan’ dan ‘kecaman’. Karena kumpulan orang itu menyuarakan idealitas mereka sekaligus mencerca yang bukan menjadi idealitas mereka itu.


Bagaimana mereka bisa berkumpul menjadi satu massa? Sederhana saja jawabnya: siapa yang berani sendirian dalam menyuarakan harapan dan sekaligus memaki. Seseorang tak pernah berani sendirian dan merasa sepi dalam hal ini. Jika tidak berhadapan dengan cemooh dan tawa, ia akan makin menegaskan diri sebagai seorang yang sendiri dalam hidupnya. Adalah penegasan diri dan kejelasan diri yang dijauhi tiap-tiap orang dalam massa. Sementara di dalam massa seseorang tak lagi terteror oleh suara hatinya, massa menyediakan ruang untuk meleburkan kekhawatiran dalam bertindak apapun. Tindakan yang menunjukkan ekspresi diri sepenuhnya. Peduli tidaknya bahwa teriakannya didengar atau tidak, yang penting di sini adalah dia dapat teriak sekeras dia bisa—juga bertindak sekeras dia mampu. Seolah dengan berbuat begitu dia sedang unjuk diri dalam kesempatan menjadi massa, yang merupakan upaya untuk beranjak dari cemasnya kekaburan diri yang selama ini mendekam dalam kesendirian. Kekerasan adalah ambang bagi penegasan diri, sekaligus menunjukkan keberadaan kegamangan diri.

Setiap orang memiliki ambang takutnya masing-masing; bisa karena kejanggalan, trauma atau pengalaman subyektif tertentu yang menjadikan seseorang merasa takut. Sedangkan kematian adalah ambang rata-rata rasa takut semua orang, maka bunuh satu orang dan buat seribu orang ketakutan. Mereka yang menonton kematian ini adalah sasaran teror. Sehingga teror merupakan teknik memperbesar rasa takut. Orang-orang takut dan saling mendekap karenanya. Karena teror membuat orang-orang yang menonton kematian menghimpun diri sebagai kerumunan yang pedih menderita rasa takut yang sama, maka teror mencipta massa. Orang-orang menghimpun diri dalam nyala lilin dan genggaman tangan guna melupakan kematian; karena ketika sendirian, kematian akan terasa begitu dekat tepat di depan mata.

Suatu nilai yang dijunjung bersama-sama dapat menumpulkan kecemasan akan kematian; entah dengan berdesakan menari dan memuja performer di atas panggung, atau dengan membayangkan kematian sebagai suatu jalan yang luhur demi keyakinannya. Sebagai penonton pertunjukan, kesenangan adalah kunci pengalih bagi pelepasan diri dari kesibukan yang melelahkan dan ketidakpuasan. Sedangkan sebagai umat, ketundukan dan kepasrahan menjadi nilai utama yang mendasari tindakan.

Rasa takut ini haruslah disudahi, ini adalah tuntutan mereka. Mereka yang geram mesti menuntut sesuatu; dan sesuatu itu mestilah berwujud, maka mereka merujuk dan menunjuk yang bukan bagian dari massa itu untuk dihukum—baik dalam bentuk kelompok massa lain maupun individual. “Gantung dia!” Adegan ini akan berulang di manapun dan kapanpun ketika individu-individu hanyut dan tersulut dalam kerumunan, yang individu-individu di dalamnya tak berani becermin karena wajah-wajah diri mereka lenyap dalam kerumunan ‘sosok orang besar’ massa. Di sini, manusia bukanlah seorang person, tetapi bagian massa tertentu atau musuh kelompok. Sehingga terdapat rasa enggan dan tidak mungkin menjalin komunikasi dengan anggota kelompok lawan, sekalipun sebagai pribadi-pribadi otonom.

***

Siapakah kita? Kita bukan mereka. Kita adalah kumpulan orang banyak yang mempunyai kekhasan sikap yang mencirikan bahwa inilah kita, dan miliki identitas lewat interaksi antara pendefinisian dari diri kita sendiri dan mereka. Kita bisa bernamakan banyak hal: agama, suku, bahasa, ras, orientasi politis, partai, aktivis, mahasiswa, komunitas hobi, birokrat, dan lain sebagainya. Kita juga bisa terbentuk karena miliki kesamaan nasib dan kepentingan: tergusur, terasing, terkorbankan, terjajah, tersingkirkan, terkhianati, terkaya, terpandai, pemenang, dan lain sebagainya. Karenanya, kita tak mungkin menjadi kita jika tak ada mereka. Kita tak mungkin menjadi lawan mereka jika tanpa sebab. Maka jika kita berkonflik dengan mereka, mestilah miliki runtutan proses sebelumnya dan tak mungkin spontan. Kita juga bisa saja berkumpul karena kita terkoordinasikan satu sama lain. Ketidakpuasan adalah motif pengumpul yang cukup baik. Di antara kita yang aktif dan lantang, kita jadikan dia pemimpin. Sehingga, sekalipun dalam aksi massa yang tampak tak terstruktur, kita tahu pembagian tugas masing-masing. Begitu juga jika terjadi konflik, kita hanya akan ikuti perintah dari atasan saja.

“Sesuai prosedur. Saya tidak melakukannya sendiri. Saya hanya mengikuti perintah,” adalah jawaban dari sebuah modus berpikir yang khas bahwa kita tak bertanggung jawab atas perbuatan tertentu, karena kita hanya mematuhi perintah. Makin impersonal atasan memerintah, makin kita terima dan patuhlah kita. Kita adalah penyesuai yang baik. Jika berhadapan dengan atasan, ‘kesopanan’ akan kita junjung tinggi. Bahkan bila perlu, kita membungkukkan badan kita. Seperti yang pernah dibilang Plato, “yang paling parah di antara binatang-binatang buas adalah sang tiran, di antara binatang-binatang jinak adalah si penjilat.” Kita akan cukup senang jika kita diperkenankan hidup; dan jika kepatuhan adalah harga yang pantas demi imbalan yang kita inginkan, kenapa tidak kita lakukan. Berhadapan dengan moncong bedil, kita hanya dapat menuruti komando orang di belakang bedil itu; dan dibayang-bayangi iming-iming insentif tentulah kita akan terdorong untuk melaksanakan perintah pemberi janji imbalan.

Beruntungnya kita berada di alam demokrasi, di mana kita yang berkumpul (baca: massa) dianggap sebagai agen perubahan sosial. Dan eloknya, karena nyanyian kita terdengar di jalanan, kita juga bahkan dianggap sebagai perata ketidaksamaan-ketidaksamaan struktural. Betapa besar nama kita disebut-sebut. Akan tetapi, adakah kekuasaan yang lebih besar daripada keberanian melawan yang maha kuasa? Di antara kita terdapat pentolan, dialah wakil kita. Politik massa adalah politik perwakilan. Sedangkan media massa adalah mesin pencitraan yang oleh wakil kita dijadikan sebagai generator sekaligus otak kita. Terkadang kita hanya dikumpulkan layaknya sedang berpentas di lapangan terbuka, menonton seseorang bersuara lantang di atas panggung. Seolah-olah kita sedang ditunjukkan kepada dunia bahwa kita pendukung loyal orang yang berada di atas panggung tersebut. Kadang nama kita disebut orang itu dan kita akan bersorak-sorai, tapi seringkali kita hanya termangu menunggu nama kita disebut.

NB: Alur tulisan ini disusun dari cuplikan acak buku Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) yang ditulis F. Budi Hardiman.

dari ponsel qwerty

Saya terima paket berisikan ponsel sabtu malam, 19 November 2011. Seorang teman yang tinggal di sebelah timur-selatannya Purwokerto—3,5-4 jam lamanya perjalanan kalau ditempuh dari Yogyakarta, memaksa saya menerima ponsel ini. Memang, katanya, dia punya 3 buah ponsel yang tak terpakai; tapi bukan itu alasan ia kirimkan ponsel ini ke saya. Ia ingin selamatkan foto yang tersimpan di ponsel yang saya terima ini.

Terdapat 20 foto dalam 2 folder berbeda di ponsel itu. Selain foto-foto dirinya dan putri cantiknya yang berusia sekitar 2 tahun, kebanyakan foto merupakan karya henna garapannya. Di antara foto-foto itu, terdapat 3 foto yang membuat saya ber-istighfar. 3 foto itulah yang ingin diselamatkannya. 3 foto itu bertanggalkan 29 April 2011. Sebuah foto menunjukkan paha yang memar kebiru-biruan. Sedangkan 2 foto lainnya bergambarkan wajah: keseluruhan mukanya tak proporsional, bibirnya jontor, pipinya biru lebam, matanya sebelah kanan bengkak. Dalam kondisi demikian dia mungkin saja keluar rumah untuk suatu keperluan tertentu dan mungkin bakal ditanyai tetangga yang melihatnya, juga bisa jadi dia jawab pertanyaan itu dengan berkata, “Oh, ini jatuh.” Dia berbohong, jika menjawab demikian. Dia dipukuli suaminya, itu yang terjadi. Daripada berbohong, dia memilih tidak keluar rumah sebulan lamanya.

Belum ada seminggu sebelum saya terima ponsel kirimannya ini, dia sms saya. Awalnya, dia ragu ceritakan persoalannya. Mungkin karena saya pernah bilang kalau saya tak mau dengar gosip ataupun urusan rumah tangganya. Tapi akhirnya dia mau ceritakan juga masalahnya itu ke saya, karena dia bingung dan tak tahu apa lagi yang mesti dia lakukan. Dia juga bilang kalau dia mau ceritakan persoalannya ini pada saya hanya karena seorang temannya menyebutkan nama saya. Padahal, ia mengaku, sebelumnya dia sama sekali tak terpikir untuk ceritakan ini ke saya.

Dia memulai ceritanya dengan mengiyakan pendapat saya tentang sakit asma-nya yang tak kunjung sembuh; sakitnya itu tak sembuh-sembuh karena masalah yang dipikirkannya. Pengakuannya, bobotnya sampai turun sebanyak 18 kg dalam waktu singkat. Awalnya saya kira yang dia bicarakan ini soal anaknya yang butuhkan perlakuan khusus pasca-operasi sumbing. Saya sudah siapkan resep ‘sabar’ jika masalahnya memang demikian. Tapi ternyata ceritanya malah membuat saya berkali-kali misuh, tak sabar ingin menghajar suaminya.

Suaminya, dia kenalkan kepada saya ketika mereka belum menikah. Dia alumni jurusan Ilmu Hukum dari salah satu universitas swasta ternama di Yogyakarta. Sekarang suaminya ini bekerja sebagai PNS yang terkait dengan bidang yang dipelajarinya juga. Hanya saja, bidang garapannya bukan ranah proses peradilan lagi, melainkan sebagai penjaga para pesakitan hasil putusan pengadilan di kota ia berasal, yaitu kota sebelah timur-selatannya Purwokerto.

Apa yang bisa saya lakukan untuknya? Saya bertanya pada diri saya sendiri. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan untuknya terpaksa saya ajukan secara bertubi-tubi dan mendetail; dari yang terkait peristiwa pemukulan yang dialaminya sampai pada hubungan rumah tangganya yang paling personal. Ia mengatakan, sampai-sampai anaknya yang masih balita pun melarangnya untuk berduaan dengan suaminya. Ia dipukuli si suami di hadapan anaknya! “Abi belum pulang kan, Mi?,” sang anak bertanya seraya ingin lindungi ibunya. Ibu mana yang tak tersayat hatinya karena pengalaman dan pertanyaan anak ini? 

***