29 April 2009

Pena mati

Hampir selesai ia menuliskan kisah hariannya. Ceritanya belum selesai, pena mati menyelesaikannya. Sebentar kesal, berikutnya mencari-cari pena lain yang masih dapat digunakan. Tak satu pun! tak satu pun dari empat pena yang ditemukannya. Kembali menggerutu. Belum mengantuk, di hari hampir shubuh.

Sebuah erangan menarik perhatiannya. Ia melihat sumber suara 'mengerang' itu dari balik jendela. Hanya sisa igauan salah satu orang dari kumpulan pemabuk di pinggir kali. Lambat, ia perhatikan sekitar lima pemuda yang tergelepar di antara botol-botol ciu dan anggur merah. Lampu pinggir kali hanya pijar 25 watt. Bau muntahan seperti masih tercium di hidungnya, ia memalingkan wajah ke aliran sungai. Pendar neon dari seberang kali kini menarik perhatiannya. Lena keseharian bersama yang tergeletak mengesampingkan dirinya dari aliran sungai yang dilihatnya kini.

Kali ini sungai bukan lagi tempat para tetangga mencuci, mandi, berak, menggosok gigi. Kali ini, sungai membawanya pada aliran ingatan dan kenangan. Ingatan yang bercokol seperti benalu di pohon mangga, menghisap sari pati diri hingga kuyu kaku di antara luwesnya anak-anak tetangga polos yang diajarnya. Kenangan, baginya, seperti air rendaman cucian yang keruh, sekeruh hatinya sekarang. Ia tak melihat air sungai yang mengalir, tak pedulikan derunya yang sudah menjadi bagian hidupnya selama lima tahun terakhir; yang kini ia perhatikan, hanyalah pendaran neon-neon putih pinggir jalan seberang sungai.

Di antara erangan kenangan pemabuk, ia turut rasakan kesal pada gedung-gedung penyebar syiar ajaran di seberang sungai. Entah karena ia mesti mendongak ke jalan seberang sungai itu, atau entah kenangan dan ingatan dari pengalaman yang seakan membuat kesal itu tumbuh. Memang, di jalan seberang sungai itu beberapa gedung berdiri dengan megah sebagai tempat pengajaran dan pendidikan keyakinan, dari berbagai jenis keyakinan. Tempat dia berada, seperti ngarai yang berhadapan dengan lereng curam. Entah karena kesan morfologis daerahnya, atau entah karena kesan dari pengalamannya.

Suatu ketika, ia pernah bercerita, empat keluarga akan digantikan tanaman agar kota menjadi indah. Beberapa pihak dihubunginya, mencari solusi agar gelandangan tidak bertambah. Pengaduan resmi dilakukannya kepada salah satu lembaga yang mengurus 'kekecewaan masyarakat pada pemerintah', tapi mentah karena masalah internal lembaga tersebut. Rumah singgah yang ditempatinya, tak mungkin cukup menampung empat keluarga. Pergantian kepengurusan daerah memicu penggantian manusia dengan tanaman. Entahlah, kala itu, pandangannya pasrah saja; tak ada celoteh lugas-pedas yang biasanya terujar dari mulutnya. "Sudah diganti kok," pesannya singkat.

....