Nietzsche bilang bahwa massa adalah salinan kabur dari orang besar, pembangkangan terhadap orang besar, atau alat bagi orang besar. Sekalipun metafora itu tak mencukupi sebab terjadinya dan apa saja faktor penyokong pada massa, ketiga gambaran tentang massa itu cukup memberikan bayangan yang mengerikan. Massa diibaratkan sebagai sosok ‘orang besar’, yang entah karena bentuknya atau dalam artian konotatifnya, secara tak langsung mengarahkan pada kedekatan dengan kekayaan dan kekuasaan. Yang artinya ia memiliki ‘tongkat pemukul’—merujuk pada kuasa, dan sekaligus ‘uang’—merujuk pada kaya, di tangannya. Di tangannya terdapat iming-iming imbalan dan perlambang amarah. Itulah orang besar. Pantas jika kita ‘memandang’ massa—ketika kita tidak menjadi bagian dalam massa, mestilah tersajikan gembar-gembor tentang ‘harapan’ dan ‘kecaman’. Karena kumpulan orang itu menyuarakan idealitas mereka sekaligus mencerca yang bukan menjadi idealitas mereka itu.
Bagaimana mereka bisa berkumpul menjadi satu massa? Sederhana saja jawabnya: siapa yang berani sendirian dalam menyuarakan harapan dan sekaligus memaki. Seseorang tak pernah berani sendirian dan merasa sepi dalam hal ini. Jika tidak berhadapan dengan cemooh dan tawa, ia akan makin menegaskan diri sebagai seorang yang sendiri dalam hidupnya. Adalah penegasan diri dan kejelasan diri yang dijauhi tiap-tiap orang dalam massa. Sementara di dalam massa seseorang tak lagi terteror oleh suara hatinya, massa menyediakan ruang untuk meleburkan kekhawatiran dalam bertindak apapun. Tindakan yang menunjukkan ekspresi diri sepenuhnya. Peduli tidaknya bahwa teriakannya didengar atau tidak, yang penting di sini adalah dia dapat teriak sekeras dia bisa—juga bertindak sekeras dia mampu. Seolah dengan berbuat begitu dia sedang unjuk diri dalam kesempatan menjadi massa, yang merupakan upaya untuk beranjak dari cemasnya kekaburan diri yang selama ini mendekam dalam kesendirian. Kekerasan adalah ambang bagi penegasan diri, sekaligus menunjukkan keberadaan kegamangan diri.
Setiap orang memiliki ambang takutnya masing-masing; bisa karena kejanggalan, trauma atau pengalaman subyektif tertentu yang menjadikan seseorang merasa takut. Sedangkan kematian adalah ambang rata-rata rasa takut semua orang, maka bunuh satu orang dan buat seribu orang ketakutan. Mereka yang menonton kematian ini adalah sasaran teror. Sehingga teror merupakan teknik memperbesar rasa takut. Orang-orang takut dan saling mendekap karenanya. Karena teror membuat orang-orang yang menonton kematian menghimpun diri sebagai kerumunan yang pedih menderita rasa takut yang sama, maka teror mencipta massa. Orang-orang menghimpun diri dalam nyala lilin dan genggaman tangan guna melupakan kematian; karena ketika sendirian, kematian akan terasa begitu dekat tepat di depan mata.
Suatu nilai yang dijunjung bersama-sama dapat menumpulkan kecemasan akan kematian; entah dengan berdesakan menari dan memuja performer di atas panggung, atau dengan membayangkan kematian sebagai suatu jalan yang luhur demi keyakinannya. Sebagai penonton pertunjukan, kesenangan adalah kunci pengalih bagi pelepasan diri dari kesibukan yang melelahkan dan ketidakpuasan. Sedangkan sebagai umat, ketundukan dan kepasrahan menjadi nilai utama yang mendasari tindakan.
Rasa takut ini haruslah disudahi, ini adalah tuntutan mereka. Mereka yang geram mesti menuntut sesuatu; dan sesuatu itu mestilah berwujud, maka mereka merujuk dan menunjuk yang bukan bagian dari massa itu untuk dihukum—baik dalam bentuk kelompok massa lain maupun individual. “Gantung dia!” Adegan ini akan berulang di manapun dan kapanpun ketika individu-individu hanyut dan tersulut dalam kerumunan, yang individu-individu di dalamnya tak berani becermin karena wajah-wajah diri mereka lenyap dalam kerumunan ‘sosok orang besar’ massa. Di sini, manusia bukanlah seorang person, tetapi bagian massa tertentu atau musuh kelompok. Sehingga terdapat rasa enggan dan tidak mungkin menjalin komunikasi dengan anggota kelompok lawan, sekalipun sebagai pribadi-pribadi otonom.
***
Siapakah kita? Kita bukan mereka. Kita adalah kumpulan orang banyak yang mempunyai kekhasan sikap yang mencirikan bahwa inilah kita, dan miliki identitas lewat interaksi antara pendefinisian dari diri kita sendiri dan mereka. Kita bisa bernamakan banyak hal: agama, suku, bahasa, ras, orientasi politis, partai, aktivis, mahasiswa, komunitas hobi, birokrat, dan lain sebagainya. Kita juga bisa terbentuk karena miliki kesamaan nasib dan kepentingan: tergusur, terasing, terkorbankan, terjajah, tersingkirkan, terkhianati, terkaya, terpandai, pemenang, dan lain sebagainya. Karenanya, kita tak mungkin menjadi kita jika tak ada mereka. Kita tak mungkin menjadi lawan mereka jika tanpa sebab. Maka jika kita berkonflik dengan mereka, mestilah miliki runtutan proses sebelumnya dan tak mungkin spontan. Kita juga bisa saja berkumpul karena kita terkoordinasikan satu sama lain. Ketidakpuasan adalah motif pengumpul yang cukup baik. Di antara kita yang aktif dan lantang, kita jadikan dia pemimpin. Sehingga, sekalipun dalam aksi massa yang tampak tak terstruktur, kita tahu pembagian tugas masing-masing. Begitu juga jika terjadi konflik, kita hanya akan ikuti perintah dari atasan saja.
“Sesuai prosedur. Saya tidak melakukannya sendiri. Saya hanya mengikuti perintah,” adalah jawaban dari sebuah modus berpikir yang khas bahwa kita tak bertanggung jawab atas perbuatan tertentu, karena kita hanya mematuhi perintah. Makin impersonal atasan memerintah, makin kita terima dan patuhlah kita. Kita adalah penyesuai yang baik. Jika berhadapan dengan atasan, ‘kesopanan’ akan kita junjung tinggi. Bahkan bila perlu, kita membungkukkan badan kita. Seperti yang pernah dibilang Plato, “yang paling parah di antara binatang-binatang buas adalah sang tiran, di antara binatang-binatang jinak adalah si penjilat.” Kita akan cukup senang jika kita diperkenankan hidup; dan jika kepatuhan adalah harga yang pantas demi imbalan yang kita inginkan, kenapa tidak kita lakukan. Berhadapan dengan moncong bedil, kita hanya dapat menuruti komando orang di belakang bedil itu; dan dibayang-bayangi iming-iming insentif tentulah kita akan terdorong untuk melaksanakan perintah pemberi janji imbalan.
Beruntungnya kita berada di alam demokrasi, di mana kita yang berkumpul (baca: massa) dianggap sebagai agen perubahan sosial. Dan eloknya, karena nyanyian kita terdengar di jalanan, kita juga bahkan dianggap sebagai perata ketidaksamaan-ketidaksamaan struktural. Betapa besar nama kita disebut-sebut. Akan tetapi, adakah kekuasaan yang lebih besar daripada keberanian melawan yang maha kuasa? Di antara kita terdapat pentolan, dialah wakil kita. Politik massa adalah politik perwakilan. Sedangkan media massa adalah mesin pencitraan yang oleh wakil kita dijadikan sebagai generator sekaligus otak kita. Terkadang kita hanya dikumpulkan layaknya sedang berpentas di lapangan terbuka, menonton seseorang bersuara lantang di atas panggung. Seolah-olah kita sedang ditunjukkan kepada dunia bahwa kita pendukung loyal orang yang berada di atas panggung tersebut. Kadang nama kita disebut orang itu dan kita akan bersorak-sorai, tapi seringkali kita hanya termangu menunggu nama kita disebut.
NB: Alur tulisan ini disusun dari cuplikan acak buku Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) yang ditulis F. Budi Hardiman.