20 November 2011

dari ponsel qwerty

Saya terima paket berisikan ponsel sabtu malam, 19 November 2011. Seorang teman yang tinggal di sebelah timur-selatannya Purwokerto—3,5-4 jam lamanya perjalanan kalau ditempuh dari Yogyakarta, memaksa saya menerima ponsel ini. Memang, katanya, dia punya 3 buah ponsel yang tak terpakai; tapi bukan itu alasan ia kirimkan ponsel ini ke saya. Ia ingin selamatkan foto yang tersimpan di ponsel yang saya terima ini.

Terdapat 20 foto dalam 2 folder berbeda di ponsel itu. Selain foto-foto dirinya dan putri cantiknya yang berusia sekitar 2 tahun, kebanyakan foto merupakan karya henna garapannya. Di antara foto-foto itu, terdapat 3 foto yang membuat saya ber-istighfar. 3 foto itulah yang ingin diselamatkannya. 3 foto itu bertanggalkan 29 April 2011. Sebuah foto menunjukkan paha yang memar kebiru-biruan. Sedangkan 2 foto lainnya bergambarkan wajah: keseluruhan mukanya tak proporsional, bibirnya jontor, pipinya biru lebam, matanya sebelah kanan bengkak. Dalam kondisi demikian dia mungkin saja keluar rumah untuk suatu keperluan tertentu dan mungkin bakal ditanyai tetangga yang melihatnya, juga bisa jadi dia jawab pertanyaan itu dengan berkata, “Oh, ini jatuh.” Dia berbohong, jika menjawab demikian. Dia dipukuli suaminya, itu yang terjadi. Daripada berbohong, dia memilih tidak keluar rumah sebulan lamanya.

Belum ada seminggu sebelum saya terima ponsel kirimannya ini, dia sms saya. Awalnya, dia ragu ceritakan persoalannya. Mungkin karena saya pernah bilang kalau saya tak mau dengar gosip ataupun urusan rumah tangganya. Tapi akhirnya dia mau ceritakan juga masalahnya itu ke saya, karena dia bingung dan tak tahu apa lagi yang mesti dia lakukan. Dia juga bilang kalau dia mau ceritakan persoalannya ini pada saya hanya karena seorang temannya menyebutkan nama saya. Padahal, ia mengaku, sebelumnya dia sama sekali tak terpikir untuk ceritakan ini ke saya.

Dia memulai ceritanya dengan mengiyakan pendapat saya tentang sakit asma-nya yang tak kunjung sembuh; sakitnya itu tak sembuh-sembuh karena masalah yang dipikirkannya. Pengakuannya, bobotnya sampai turun sebanyak 18 kg dalam waktu singkat. Awalnya saya kira yang dia bicarakan ini soal anaknya yang butuhkan perlakuan khusus pasca-operasi sumbing. Saya sudah siapkan resep ‘sabar’ jika masalahnya memang demikian. Tapi ternyata ceritanya malah membuat saya berkali-kali misuh, tak sabar ingin menghajar suaminya.

Suaminya, dia kenalkan kepada saya ketika mereka belum menikah. Dia alumni jurusan Ilmu Hukum dari salah satu universitas swasta ternama di Yogyakarta. Sekarang suaminya ini bekerja sebagai PNS yang terkait dengan bidang yang dipelajarinya juga. Hanya saja, bidang garapannya bukan ranah proses peradilan lagi, melainkan sebagai penjaga para pesakitan hasil putusan pengadilan di kota ia berasal, yaitu kota sebelah timur-selatannya Purwokerto.

Apa yang bisa saya lakukan untuknya? Saya bertanya pada diri saya sendiri. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan untuknya terpaksa saya ajukan secara bertubi-tubi dan mendetail; dari yang terkait peristiwa pemukulan yang dialaminya sampai pada hubungan rumah tangganya yang paling personal. Ia mengatakan, sampai-sampai anaknya yang masih balita pun melarangnya untuk berduaan dengan suaminya. Ia dipukuli si suami di hadapan anaknya! “Abi belum pulang kan, Mi?,” sang anak bertanya seraya ingin lindungi ibunya. Ibu mana yang tak tersayat hatinya karena pengalaman dan pertanyaan anak ini? 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar