19 Februari 2009

"Ngente'ke saududan meneh."

“Ngente’ke saududan meneh.”

Berbatas dan tak berbatas, seperti itulah pertimbangan. Apalagi yang berkaitan dengan waktu. Usia, itulah satu-satunya waktu yang termaterikan, sepengetahuanku. Usia berlaku seperti hukum saja, diketahui setelah berlangsung. Menaksirnya, seperti menghitung guratan kambium di pohon.
Tapi, apa batas bagi sebuah pe-nanti-an? Tunda, tunggu, sabar, rehat, resah, kesal, alasan; apa lagi? Ternyata tak semudah menakar usia. Di mana letak waktu terbiaskan oleh kata ‘lama’ dan ’sebentar’. Siapa tak resah menanti bias waktu subyektif?

Bagaimana bisa menyatakan kebenaran pada teks agung “dalam tempo sesingkat-singkatnya”?

Nyatanya, yang tak berbatas itu justru menggerakkan. Seperti rayuan “mencintaimu selama-lamanya”. Nyatanya, seperti itulah keadaannya, bahwa kita mudah tergerak dengan yang tak-berukuran-pasti-dan-tentu seperti euphoria-nya seorang yang mengalami pubertas. Akui saja, yang tak-berukuran-pasti-dan-tentu itu mempunyai kuasa lebih tersendiri daripada yang dapat dimaterikan.

tabik,
^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar