23 Februari 2009

Urung rampung; eneng bos je... (kok yo tumben wis tangi??? hwakakakakaka... se' tak laporan disik.. hehee..)

Membuat komentar di sela obrolan-chatting, lumayan menyenangkan. Kenapa juga saya ngga langsung bilang ama yang nulis, padahal kan sedang on-line?? Ah, tak apalah, daripada ribet n ga informatif. Sebenarnya, yang akan saya tuliskan ini bukanlah tanggapan ataupun komentar, tapi lintasan-lintasan karena sudah ngungun si ingatan. Bisa jadi, malah curhat n buat tulisan yang lain. Hehehehe....

Oke,,, mulai deh curhatnya. heheheh...

"Tubuh, layaknya pakaian." Itu salah satu yang saya ingat dari Bhagavad Gita. Entah mengapa begitu saja teringat Kidung Dewata begitu membaca tulisan si penggemar Niet ini. Padahal, kalau dari tradisi Barat, obrolan tentang tubuh juga sudah ada di model Akademi-nya Sparta. Tapi, model Sparta hanyalah upaya untuk pengoptimalan tubuh. Berbeda dari tradisi India, model Sparta hanya terkait dengan penguatan otot juga strategi dan taktik penguasaan tubuh yang berimplikasi pada ekspansi ekstensa (atau keluasan, yang berkaitan dengan bidang yang terukur) atau wilayah suatu daerah.

Sedangkan tradisi India yang saya sitir, pengutamaannya bertolak belakang dengan tradisi Sparta. Ada istilah 'viraga', yang berarti kelepasbebasan; yang berlawanan dengan istilah 'raga' yang berarti kelekatan pada dunia dan hidup. Sehingga, utamanya pencerahan (mukti) dalam tradisi ini adalah pelepasbebasan dari yang bersifat fenomenal atau realitas yang nampak. Karena, yang berbentuk mesti dapat berubah. Tradisi ini mencari kesejatian yang abadi, tanpa perubahan. Sehingga, wajar jika tradisi ini menganggap bahwa 'tubuh layaknya pakaian.' Karena, tubuh bisa usang, bisa juga diolah sedemikian rupa. Terapannya, wajar jika ada Yoga yang merupakan jalan pendisiplinan tubuh guna mencapai kesinambungan dalam, bagi dan dengan tubuh itu sendiri dengan alam dan kehidupan (jiva) abadi yang terpenjara dalam tubuh.

Kemewaktuan dan yang abadi, merupakan salah satu bahasan bagi pemikir eksistensialisme. Tubuh, dapat juga menjadi obyek contoh yang mewaktu-yang termakan usia.

Setidaknya, dari kedua tradisi itu, kita dapat ambil tamsil bahwa keduanya sepakat bahwa tubuh dapat direka-reka. Sama halnya dengan ekstensa/keluasan yang lain; yang berwujud terukur, berbentuk, dapat dijamah, dilihat, diendus, dsb. Seperti batu keras yang tertetesi air terus-menerus, mesti akan terlubangi juga. Tubuh. Cercaan dan pujian, silih berganti padanya. Onggokan dari kumpulan tendon-tendon yang merupakan organisasi tersendiri dengan fungsi-fungsinya masing-masing; daging yang diselimuti jaringan kulit, yang tegak karena sistem rangka, bekerja dengan sistem syaraf yang mengatur kepekaan motorik dan sensorik, yang dipompa oleh denyut jantung, yang berenergi dengan sirkulasi pencernaan dan edar darah juga nafas, berinformasi dengan otak dan susunan syaraf tulang belakang dengan 5 indera sumber informasi.

Betapa kompleks yang dicaci dan dipuja ini. Tapi, begitulah tubuh. Ingin kuasai tubuh, kuasai dahulu alur informasi kebutuhan dan keinginannya. Seperti yang dilakukan dua tradisi di atas. Apa saja yang berkaitan dengan tubuh? kebutuhan eksistensialnya? hasratnya? birahinya?

...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar