"WELCOME". Begitu abjad-abjad tertata di sebuah keset depan pintu. Sebagai penyambut, sebagai pembersih dari kotoran di kaki ataupun alas kaki. Halaman ini menyambut dengan susunan abjad yang sama, juga sebagai pembersih dari pikiran-pikiran ruwet yang mungkin dapat dibaca dalam isi halaman. Tabik... ^_^
20 November 2011
masa' massa bodoh?
Bagaimana mereka bisa berkumpul menjadi satu massa? Sederhana saja jawabnya: siapa yang berani sendirian dalam menyuarakan harapan dan sekaligus memaki. Seseorang tak pernah berani sendirian dan merasa sepi dalam hal ini. Jika tidak berhadapan dengan cemooh dan tawa, ia akan makin menegaskan diri sebagai seorang yang sendiri dalam hidupnya. Adalah penegasan diri dan kejelasan diri yang dijauhi tiap-tiap orang dalam massa. Sementara di dalam massa seseorang tak lagi terteror oleh suara hatinya, massa menyediakan ruang untuk meleburkan kekhawatiran dalam bertindak apapun. Tindakan yang menunjukkan ekspresi diri sepenuhnya. Peduli tidaknya bahwa teriakannya didengar atau tidak, yang penting di sini adalah dia dapat teriak sekeras dia bisa—juga bertindak sekeras dia mampu. Seolah dengan berbuat begitu dia sedang unjuk diri dalam kesempatan menjadi massa, yang merupakan upaya untuk beranjak dari cemasnya kekaburan diri yang selama ini mendekam dalam kesendirian. Kekerasan adalah ambang bagi penegasan diri, sekaligus menunjukkan keberadaan kegamangan diri.
Setiap orang memiliki ambang takutnya masing-masing; bisa karena kejanggalan, trauma atau pengalaman subyektif tertentu yang menjadikan seseorang merasa takut. Sedangkan kematian adalah ambang rata-rata rasa takut semua orang, maka bunuh satu orang dan buat seribu orang ketakutan. Mereka yang menonton kematian ini adalah sasaran teror. Sehingga teror merupakan teknik memperbesar rasa takut. Orang-orang takut dan saling mendekap karenanya. Karena teror membuat orang-orang yang menonton kematian menghimpun diri sebagai kerumunan yang pedih menderita rasa takut yang sama, maka teror mencipta massa. Orang-orang menghimpun diri dalam nyala lilin dan genggaman tangan guna melupakan kematian; karena ketika sendirian, kematian akan terasa begitu dekat tepat di depan mata.
Suatu nilai yang dijunjung bersama-sama dapat menumpulkan kecemasan akan kematian; entah dengan berdesakan menari dan memuja performer di atas panggung, atau dengan membayangkan kematian sebagai suatu jalan yang luhur demi keyakinannya. Sebagai penonton pertunjukan, kesenangan adalah kunci pengalih bagi pelepasan diri dari kesibukan yang melelahkan dan ketidakpuasan. Sedangkan sebagai umat, ketundukan dan kepasrahan menjadi nilai utama yang mendasari tindakan.
Rasa takut ini haruslah disudahi, ini adalah tuntutan mereka. Mereka yang geram mesti menuntut sesuatu; dan sesuatu itu mestilah berwujud, maka mereka merujuk dan menunjuk yang bukan bagian dari massa itu untuk dihukum—baik dalam bentuk kelompok massa lain maupun individual. “Gantung dia!” Adegan ini akan berulang di manapun dan kapanpun ketika individu-individu hanyut dan tersulut dalam kerumunan, yang individu-individu di dalamnya tak berani becermin karena wajah-wajah diri mereka lenyap dalam kerumunan ‘sosok orang besar’ massa. Di sini, manusia bukanlah seorang person, tetapi bagian massa tertentu atau musuh kelompok. Sehingga terdapat rasa enggan dan tidak mungkin menjalin komunikasi dengan anggota kelompok lawan, sekalipun sebagai pribadi-pribadi otonom.
***
Siapakah kita? Kita bukan mereka. Kita adalah kumpulan orang banyak yang mempunyai kekhasan sikap yang mencirikan bahwa inilah kita, dan miliki identitas lewat interaksi antara pendefinisian dari diri kita sendiri dan mereka. Kita bisa bernamakan banyak hal: agama, suku, bahasa, ras, orientasi politis, partai, aktivis, mahasiswa, komunitas hobi, birokrat, dan lain sebagainya. Kita juga bisa terbentuk karena miliki kesamaan nasib dan kepentingan: tergusur, terasing, terkorbankan, terjajah, tersingkirkan, terkhianati, terkaya, terpandai, pemenang, dan lain sebagainya. Karenanya, kita tak mungkin menjadi kita jika tak ada mereka. Kita tak mungkin menjadi lawan mereka jika tanpa sebab. Maka jika kita berkonflik dengan mereka, mestilah miliki runtutan proses sebelumnya dan tak mungkin spontan. Kita juga bisa saja berkumpul karena kita terkoordinasikan satu sama lain. Ketidakpuasan adalah motif pengumpul yang cukup baik. Di antara kita yang aktif dan lantang, kita jadikan dia pemimpin. Sehingga, sekalipun dalam aksi massa yang tampak tak terstruktur, kita tahu pembagian tugas masing-masing. Begitu juga jika terjadi konflik, kita hanya akan ikuti perintah dari atasan saja.
“Sesuai prosedur. Saya tidak melakukannya sendiri. Saya hanya mengikuti perintah,” adalah jawaban dari sebuah modus berpikir yang khas bahwa kita tak bertanggung jawab atas perbuatan tertentu, karena kita hanya mematuhi perintah. Makin impersonal atasan memerintah, makin kita terima dan patuhlah kita. Kita adalah penyesuai yang baik. Jika berhadapan dengan atasan, ‘kesopanan’ akan kita junjung tinggi. Bahkan bila perlu, kita membungkukkan badan kita. Seperti yang pernah dibilang Plato, “yang paling parah di antara binatang-binatang buas adalah sang tiran, di antara binatang-binatang jinak adalah si penjilat.” Kita akan cukup senang jika kita diperkenankan hidup; dan jika kepatuhan adalah harga yang pantas demi imbalan yang kita inginkan, kenapa tidak kita lakukan. Berhadapan dengan moncong bedil, kita hanya dapat menuruti komando orang di belakang bedil itu; dan dibayang-bayangi iming-iming insentif tentulah kita akan terdorong untuk melaksanakan perintah pemberi janji imbalan.
Beruntungnya kita berada di alam demokrasi, di mana kita yang berkumpul (baca: massa) dianggap sebagai agen perubahan sosial. Dan eloknya, karena nyanyian kita terdengar di jalanan, kita juga bahkan dianggap sebagai perata ketidaksamaan-ketidaksamaan struktural. Betapa besar nama kita disebut-sebut. Akan tetapi, adakah kekuasaan yang lebih besar daripada keberanian melawan yang maha kuasa? Di antara kita terdapat pentolan, dialah wakil kita. Politik massa adalah politik perwakilan. Sedangkan media massa adalah mesin pencitraan yang oleh wakil kita dijadikan sebagai generator sekaligus otak kita. Terkadang kita hanya dikumpulkan layaknya sedang berpentas di lapangan terbuka, menonton seseorang bersuara lantang di atas panggung. Seolah-olah kita sedang ditunjukkan kepada dunia bahwa kita pendukung loyal orang yang berada di atas panggung tersebut. Kadang nama kita disebut orang itu dan kita akan bersorak-sorai, tapi seringkali kita hanya termangu menunggu nama kita disebut.
NB: Alur tulisan ini disusun dari cuplikan acak buku Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) yang ditulis F. Budi Hardiman.
dari ponsel qwerty
21 Oktober 2011
Bouquet yang tak pernah sampai
sedangkan di sana mungkin sudah biasa jika anak-anak berendam di pancuran taman kota.
orang-orang tua mereka mengizinkan.
Di sini, kita tahu, pancuran tengah kota cuma untuk
kilapkan adipura. Kita butuh monumen untuk mengingatkan orang banyak,
agar dokumentasi bisa dibuat orang lewat potret atau
tulisan.
dari kesalahan, dari kebanggan.
pancuran kota di sini seperti monumen.
di sini, selalu saja seperti diingatkan, dengan plakat-plakat besar
seperti orang di sini selalu dianggap mudah lupa
dari dendam, dari maaf.
bukan supaya dikenang, tapi agar kau lupa
sebuah senyum monumental yang bukan untuk masa lalu
tapi perkenalan baru
seperti bius dalam misteri, yang langgengkan ingin tahu
aku menjadi orang asing
selain nama dan rupa, semuanya asing dari ingatan.
itulah aku. senja hari di sebuah jembatan, ketika anak-anak berbalap pulang dengan sepeda untuk mandi. Saat itulah hari berhenti.
Aku yang baru kau kenal tak ada lagi.
kau hanya sedang mengigau saja, sebut nama dan seakan melihat rupa. Samar, cantik, yang kau sadar
hantu. Yang kaulihat, tak masuk nalar.
Bukan, bukan aku orang yang patut dirindu.
Aku bukan khayal, aku punya nalar sendiri,
tapi bukan nalarmu.
Aku, terlalu bebal untuk diajar tentang hidup yang kau tahu.
Akur saja, tak perlu paksa benar siapa.
Senyum, hanya agar kau lupa. tak ada potret juga tulisan
karena kau lupa di mana.
cukup senyum saja, tak perlu dokumentasi rapimu jadi
monumen. karena aku tak ada saat itu semua. Asing.
seperti jam pasir pengancam
dinding pipa kapiler mengecil, degup makin kencang
mata merah, kau menangis.
pupur dibasuh wudlu, sembab tak ditipu
memohon lupa sewaktu sujud, sembab makin jadi.
di hadapan cermin menanti senyum
agar di meja makan nanti tak timbul tanya
dan penerimaan pun terjadi.
dua saat jalani pribadi, taat di dunia sendiri
kau bukan lagi penakut
Hantu seperti bayangan di cermin
adanya tak dapat kau jangkau
memaki tak baik, memuji tak buruk
tak perlu dipastikan, kecewa kan datang
di atap kokoh kau rebah, di paduan tangan kau berbaring
tak gigil di kaki Sumbing.
makan apa saja kau bisa, tanpa perlu khawatir denyut ketiga
hantu datang serta merta, tak pedulilah, energinya bakal habis juga
lembam, lengang, melayang-layang
seperti asap hasil bakaran
dari potret dan tulisan lama yang tersimpan
lega
kau bukan lagi penakut.
tak lagi guratan kambium penguat pancang
usia merapuhkan, jika bukan rayap-rayap yang memakan
hidup sebagai pancang, sandaran bagi pelancong yang datang
Bukan, aku datang bukan sebagai pelancong yang bersandar
aku datang sebagai pemugar, tak akan menjadikan cagar
sekali pun, jangan harap aku datang
aku pembuat lembaran-lembaran menguning
usia yang merapuhkan, rayap-rayap yang memakan
kau ingin kokoh, aku perapuh.
aku samar, kau cantik. di mana pun, aku berada. di tempatmu, kau berada.
aku cacah, kau bulat.
Akur saja, tak perlu paksa benar siapa.
sehari ini, biar saja kopong. yang khayal, yang nyata menyatu
dalam gugus rumit.
samar cantik.
19 Oktober 2011
3 Pendekatan Ekonomi
Catatan:
Supaya terbaca, silakan simpan gambar di atas atau unduh tulisan Soemitro Djojohadikusumo, Transformasi dan Pembangunan Ekonomi. :)
Berkenalan dengan Kapitalisme
Pasar juga merupakan prioritas utama. Karena proses produksi dan konsumsi diceraikan—orang tidak lagi mengkonsumsi apa yang mereka produksi ataupun mereka tidak lagi memproduksi apa yang biasa dikonsumsinya. Sehingga pasar menjadi satu-satunya sarana di mana seluruh barang dan jasa bisa didapat.
Pasar tak lagi mesti mempunyai lokasi yang tetap (market-places), tapi ia disebut pasar bilamana penjual dan pembeli melakukan pertukaran/transaksi. Sehingga pengertian ini tak hanya berlaku untuk barang dan jasa maupun transaksi elektronik saja, melainkan berlaku juga ketika pengusaha menawarkan pekerjaan sementara buruh membutuhkan pekerjaan. Begitu juga dengan uang yang bisa dijual-belikan dalam pasar mata uang. Selain itu, kepemilikan perusahaan pun dijual-belikan juga dalam bursa saham.
Fungsi pasar selain sebagai ruang terjadinya transaksi, adalah untuk memunculkan kompetisi antara perusahaan-perusahaan (ilustrasi 2); juga untuk memunculkan kecenderungan konsentrasi dalam geliat ekonomi-politik yang tak menentu/fluktuatif. Kecenderungan inilah yang mendasari bentuk spekulatif dari kapitalisme (ilustrasi 3).
23 Agustus 2011
amanat puasa...
Wallahu a'lam.
12 Agustus 2011
Neoliberalisme: Perjalanan Menuju Legal Democracy
Setelah kita membaca tulisan ‘Selamat Menikmati’ Kebebasan Neoliberalisme?, kita telah memiliki gambaran tentang Neoliberalisme. Kali ini—sebagai kelanjutan dari tulisan tersebut, tulisan ini akan menceritakan tentang Neoliberalisme juga. Hanya saja bahasan kali ini akan lebih terfokus pada pertanyaan ‘bagaimana upaya neoliberalisme agar dapat diterima dalam berbagai aspek kehidupan manusia di seantero jagat?’.
Legal Democracy |
Principle(s) of justification: |
· The majority principle is an effective and desirable way of protecting individuals from arbitrary government and, therefore, of maintaining liberty. |
· For political life, like economic life, to be a matter of individual freedom and initiative, majority rule, in order for it to function justly and wisely, must be circumscribed by the rule of law. |
Key features: |
· Constitutional law (modelled on features of the Anglo-American political tradition, including clear separation of powers). |
· Rule of law |
· Minimal state intervention in civil society and private life |
· Free-market society given fullest possible scope |
General conditions: |
· Effective political leadership guided by liberal principles |
· Minimization of excessive bureaucratic regulation |
· Restriction of role of interest groups (e.g. trade unions) |
· Minimization (eradication, if possible) of threat of collectivism of all types |
Sumber: David Held, 1987. Models of Democracy. p. 251 |
02 Agustus 2011
'Selamat Menikmati' Kebebasan Neoliberalisme?
Apa jadinya pelaksanaan demokrasi (politik) prosedural di antara kondisi masyarakat yang kesenjangan ekonomi-nya tinggi? Kesenjangan ekonomi yang tinggi membagi masyarakat dalam dua kelompok. Satu kelompok yang terdiri dari banyak orang yang tidak memiliki apa-apa. Kelompok lain, terdiri dari sedikit orang yang memiliki segala-galanya. Dalam demokrasi politik, setiap orang memiliki hak politik yang sama; tetapi tidak dalam hak ekonomi, karena ketimpangan yang terjadi. Akibatnya, nilai ekonomis setiap hak pilih akan berbeda pada setiap orang. Perbedaan harga hak pilih ini membuka peluang keuntungan melalui perdagangan suara. Kondisi ini memungkinkan bagi satu kelompok (yang rela) menjual hak pilihnya kepada kelompok lain yang memerlukan dan mampu membeli. Bagi calon yang memperoleh banyak suara tetapi memiliki aset yang sedikit, (bisa jadi) akan menjadikan perolehan suaranya itu sebagai ‘pertimbangan’ bagi sejumlah orang yang memiliki aset ekonomi yang besar. Selain makna demokrasi politik yang menjadi bias dengan kepentingan ekonomi, kondisi ini juga mempertahankan konsentrasi ekonomi pada sejumlah orang yang memiliki segala-galanya itu.
Gejala di atas membuat kita bertanya-tanya (kalau tabu untuk dikatakan curiga): mengapa model demokrasi politik prosedural yang dipilih untuk kita laksanakan, jika kita tahu terdapat kesenjangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat? Karena orang awam pun tahu, jangan banyak berharap dari orang yang lapar untuk bisa serius obrolkan suatu tema penting bagi masyarakat; kecuali jika dengan obrolkan hal tersebut, dia dijanjikan makanan. Dengan perkataan lain, tumbuhnya demokrasi politik tak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi. Tentunya penalaran ini bisa dipahami dan diketahui oleh banyak orang, termasuk pembuat kebijakan di negeri kita tercinta ini—apalagi bagi yang mengimani basis ekonomi sebagai penentu terbentuknya struktur dalam masyarakat. Para ekonom pun paham bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam ekonomi, sejatinya diawali dengan pandangan normatif tentang manusia dan atau masyarakat. Sebagaimana Amir Effendi Siregar mengutip Peter L. Berger dalam pengantar buku yang dieditnya:
Mereka yang menghendaki kepastian janganlah menoleh kepada ilmu. Mereka harus beribadat di kuil ideologis pilihan mereka dan menentukan pilihan itu dengan nurani mereka. Tetapi pekerjaan ilmiah memiliki ganjaran-ganjarannya sendiri, baik secara intelektual maupun moral … sifat ilmu tidak bisa menghasilkan kepastian-kepastian profetik, hanyalah kemungkinan-kemungkinan, kesimpulan-kesimpulan yang bisa dijungkirbalikkan oleh pembuktian berikutnya.”“
Senada dengan pendapat Berger, tulisan ini juga ingin menelisik “berkiblat pada ‘kuil ideologis’ apakah sistem perekonomian negeri ini?”. Tulisan ini akan mengawali langkah—semoga saja niatan ini bisa memunculkan seri tulisan lebih lanjut, melalui anggapan pihak tertentu bahwa negeri ini adalah penganut Neoliberalisme. Dalam pembacaan yang konspiratif, negeri ini menerima resep pelaksanaan demokrasi politik prosedural agar suatu ketika bisa sadar bahwa negeri ini juga amat sangat membutuhkan resep lain, yaitu suatu ‘tatanan kebebasan ekonomi’. Bagi yang percaya bahwa kebijakan ekonomi negeri ini sudah neoliberal—masih dalam kerangka anggapan konspiratif yang sama, pelaksanaan demokrasi politik prosedural di negeri ini bertujuan untuk meng-efisien-kan proses kelembagaan agar makin sesuai dengan mekanisme ekonomi neoliberal. Sehingga mekanisme yang bekerja bisa makin lancar lagi. Baiknya kita tak mengimani anggapan ini sebelum kita tahu benar gagasan macam apakah neoliberalisme itu; dan bagaimana bisa ada orang yang mengatakan bahwa negeri ini menganutnya. Dan untuk mengetahui Neoliberalisme inilah, tulisan ini dibuat.
Sebelum beranjak pada obrolan tentang Neoliberalisme, tulisan ini sedari awal tidak memisahkan antara ekonomi dan politik. Karena fungsi pasar dan negara (seringkali) tumpang-tindih. Negara berfungsi untuk mengalokasikan dan mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan pasar, berfungsi untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya. Orang yang mengendalikan sumber daya di masyarakat bisa memiliki kekuasaan, begitu juga sebaliknya. Hanya saja kaitan antara keduanya seringkali digambarkan sebagaimana pendulum, di mana negara dan pasar berada pada dua titik ekstrim yang saling berhadapan. Posisinya bisa jadi setimbang, bisa juga condong pada salah satu darinya.
Dari sebuah Ordo ke Masyarakat Pasar
Neoliberalisme adalah sekte sempalan pemikiran Ordo-Liberal. Sebagai suatu kelompok pemikir yang berada dalam suasana 1930-an di Jerman, para pemikir Ordo-Liberal (Walter Eucken dan Franz Bohm) melalui jurnal Ordo muncul dengan pokok-pokok pikiran: pertama, pasar bukanlah peristiwa alami. Pasar bisa dibentuk, diubah, dan dihancurkan. Pasar selalu membutuhkan tindakan politik dalam membentuk nilai-nilai moral dan kultural bagi pengadaan barang/jasa ekonomi, sekaligus juga mencegah kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural. Tindakan politik macam ini mereka sebut dengan vitalpolitik. Kedua, pasar merupakan salah satu relasi yang diciptakan untuk membantu pengadaan barang/jasa bagi hidup-bersama, dan dinamika sosial tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar tanpa kerangka tata-sosial. Perdebatan tentang perubahan terletak dalam pertanyaan ‘sejauh mana kinerja pasar membantu terjadinya kontrak sosial. Ketiga, agenda tranformasi ekonomi terletak dalam upaya mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut kontrak sosial. Di sini, tugas tata-pemerintahan adalah untuk menjaga tegangan antara individualitas dan tatanan masyarakat.
Dalam perkembangan pemikiran Ordo-Liberal ini, Neoliberalisme muncul dengan gagasan utamanya, yaitu segala tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan dan kebebasan itu hanya bisa terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasi-relasi spontan. Ekonomi pasar-bebas itulah locus dan model spontanitas dan kebebasan itu. Dan segala bentuk ekonomi yang terencana adalah road to serfdom, sebagaimana Friedrich von Hayek tuliskan. Aturan yang berlaku bagi ekonomi pasar-bebas ini adalah segala macam batasan (baik itu politik, sosial, kultural, hukum serta regulasi pemerintah) janganlah campur-tangan. Selain Friedrich von Hayek yang sudah disebutkan tadi, kawan-kawan Hayek di Universitas Chicago pasca PD II yang menjadi penggerak utama mazhab Neoliberalisme ini adalah: Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler.
Neoliberalisme mengakui ragam relasi manusia seperti politik, sosial, kultural, hukum, dll; tapi bagi gagasan ini semuanya itu dipandu oleh prinsip transaksi untung-rugi dalam kinerja ekonomi pasar. Dengan menitikberatkan pada spontanitas dan kesukarelaan dalam kebebasan, para pemikir neoliberal ini mendaulat ekonomi pasar-bebas sebagai kebebasan sejati. Gary Becker menyebutkan, “ekonomi memberikan pendekatan paling komprehensif untuk memahami semua prilaku manusia…”. Pernyataannya ini ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya sejatinya manusia adalah homo oeconomicus. Sehingga berkembanglah patokan tentang siapa manusia, bagaimana ia harus menjadi, bagaimana ia harus berpikir dan dipikirkan, juga bagaimana ia harus bertindak dan berelasi. Kelanjutan dari itu semua adalah bagaimana mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Tidak hanya barang/jasa saja yang harus ditentukan oleh kinerja pasar, neoliberalisme meradikalkannya dengan gagasan ‘semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar’ dan menuntut ‘prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa’.
Dengan memandang semua relasi manusia sebagai relasi pasar, neoliberalisme mengajukan homo oeconomicus sebagai teori kodrat manusia sejati yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Sesuai dengan gagasan ini, model manusia sejati adalah pelaku bisnis atau pengusaha. Oleh karena model manusia sejati adalah pengusaha, maka setiap orang yang ingin menjadi manusia sejati—dalam pandangan neoliberal—mestilah melihat dan mengubah dirinya sesuai dengan idiom bisnis dan pasar. Artinya, segala sesuatu yang ada pada orang tersebut adalah modal yang mesti diubah menjadi laba. Dari sinilah berkembang suasana kultural baru, yaitu penentuan identitas diri dan mengadakan relasi-relasi berdasarkan pada kapitalisasi segala bidang kehidupan.
Kita tahu bahwa tak selalu untung yang didapat pengusaha. Ia bisa jadi rugi sampai jatuh miskin atau menganggur; dan kerugiannya itu adalah akibat dari tindakannya sendiri. Dalam pandangan neoliberal, kemiskinan dan pengangguran bukanlah masalah sosial, melainkan sebagai kegagalan mengubah aset diri menjadi laba. Maka program jaminan sosial menjadi tak mempunyai alasan untuk diadakan. Kita pun akan dengan mudah menelusur bidang kehidupan lain seperti pendidikan dan kesehatan dalam pandangan neoliberalisme ini. Tidak ada pendidikan, yang terjadi adalah bisnis sekolah. Tidak ada juga kesehatan, tetapi bisnis rumah sakitlah yang tumbuh-berkembang. Sehingga bukan pasien yang datang ke dokter, tetapi konsumen pengobatan. Juga bukan guru, melainkan penjual pelajaran. Pada akhirnya, jika segala aspek kehidupan masyarakat dan segala relasinya berdasarkan relasi pasar, maka sebutan Masyarakat Pasar akan tepat jadinya.
Kita pun tahu kelanjutan dari nalar ini jika meng-atribut-kan homo oeconomicus —sebagai model kodrat manusia sejati—pada pemerintah suatu wilayah tertentu. Pejabat pemerintahnya tentu akan berupaya untuk menjajakan wilayah dan sumber daya apapun yang bisa ditawarkan kepada investor. Suatu kebijakan akan dinilai sukses bilamana dapat menghasilkan laba dengan menarik investasi dalam bidang apapun, entah itu pertanian, sekolah, rumah sakit, maupun mall.
Dengan bantuan percepatan dan kecepatan teknologi komunikasi, neoliberalisme memungkinkan banyak jenis transaksi baru—yang pada awalnya adalah bidang-bidang yang secara tradisional bukanlah bidang ekonomi. Jenis transaksi-transaksi baru ini mengabaikan ekonomi sektor riil, karena jenis transaksi ini lebih mengutamakan pemanfaatan nilai tukar daripada fungsionalitas dari sesuatu hal. Contohnya adalah spekulasi nilai mata uang. Uang tak lagi hanya berfungsi sebagai alat tukar, melainkan juga bisa digunakan sebagaimana halnya karcis lotere. Misalnya, orang membeli dollar AS dengan harapan suatu kali nilainya akan naik, dengan demikian akan memberikan keuntungan ketika dijual kembali. Inilah mengapa David Harvey menyatakan bahwa “neoliberalisme juga berarti finansialisasi segalanya”. Itulah yang menjelaskan terjadinya ledakan transaksi finansial maya dengan istilah yang beraneka ragam (hedge funds, derivatives, forwards, futures, dll) dan dalam kondisi ini memungkinkan munculnya banyak brokers dan makelar.
Daya Beli = Kebebasan?
Marilah sejenak kita memberi jeda bagi pembicaraan tentang gagasan kebebasan. Kebebasan adalah gagasan tidak-adanya pembatasan pada seseorang. Kebebasan seseorang dibatasi oleh rintangan yang timbul dari tindakan bebas dari orang lain, baik itu disengaja maupun tidak. Dan ada-tidaknya pembatasan, menentukan ada-tidaknya alternatif tindakan. Inilah rumusan tentang kebebasan, yang pada akhirnya mengaitkan tindakan dan pilihan. Sehingga kebebasan bukan hanya tergantung pada tidak-adanya pembatasan saja, melainkan juga dari tersedianya sarana untuk melakukan pilihan tindakan. Misalnya, kebebasan berbicara tidak hanya men-syarat-kan tidak-adanya sensor, tapi bagaimana bisa seseorang membicarakan pendapatnya tentang tema tertentu jika orang tersebut tidak makan selama beberapa hari?
Ibarat jalan, kebebasan adalah jalan menuju ke mana saja. Kebebasan bisa disandangkan kepada suatu hal yang dianggap bernilai. Suatu hal yang bernilai ini menyangkut tindakan dan pilihan tertentu yang dianggap penting. Misalkan: ‘kebebasan berbicara’ menjadi penting karena tindakan berbicaranyalah yang penting; bukan kebebasannya. Begitu juga dengan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan bekerja’, ‘kebebasan beragama’, dll. Sama halnya dengan ‘kebebasan modal’ (free movement of capital); yang penting di sini bukanlah kebebasan itu, melainkan yang utama adalah gerak modalnya. Dan jika ‘kebebasan’ tidak disandangkan pada suatu tindakan dan pilihan yang dianggap penting, maka ‘kebebasan’ ini akan berupa gagasan semata.
Persoalan yang timbul dari beragamnya hal penting yang mengikuti kata ‘kebebasan’ ini adalah “bagaimana jika konflik terjadi antara berbagai jenis kebebasan itu—misal, antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’?”. Sementara ‘kebebasan modal’ melibatkan kebebasan para investor untuk datang dan pergi, sedangkan ‘kebebasan bekerja’ menyangkut hak para buruh atas kerja-upahan. Konflik macam ini bisa terjadi karena penetapan pilihan atau tindakan apa yang lebih penting dibanding pilihan atau tindakan lain; dan, penetapan itu menjadi penentu arah ‘kebebasan’. Dalam hal ini, David Harvey kembali berpendapat, “Dalam konflik antara hak-hak yang sama atas kebebasan, kekuasaanlah yang menentukan.”
Untuk menjawab contoh persoalan konflik antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’, marilah kita kembali kepada bahasan Neoliberalisme. Kita mungkin sudah bisa bayangkan ‘bagaimanakah kondisi Masyarakat Pasar yang segala-galanya berorientasikan laba?’. Kita tahu bahwa pilihan atau tindakan yang penting bagi pandangan Neoliberalisme adalah menghasilkan laba. Karena Neoliberalisme meyakini bahwa manusia secara kodrati adalah homo oeconomicus, maka tak ada raja juga tak ada orang pinggiran. Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Inilah pergerakan manusia yang dimotori oleh kompetisi. Kebebasan, bagi Neoliberalisme, adalah kesamaan kesempatan.
Pada praktiknya, seseorang dikatakan bebas jika ia bisa memilih berdasarkan seleranya. Artinya, setiap tindakan manusia bebas memiliki preferensi tindakannya masing-masing. Hanya saja, para makhluk ekonomi (homo oeconomicus) dalam Masyarakat Pasar ini mempunyai preferensi yang khas, yaitu daya beli (purchasing power). [Maka] adalah hal yang logis jika dalam Masyarakat Pasar yang digerakkan oleh kompetisi ini, orang-orang akan menumpuk pundi-pundi modal yang mestilah menghasilkan laba. Itulah yang menjelaskan ekspansi proses komersialisasi ke semakin banyak bidang kehidupan—dari warna rambut sampai pengetahuan, dari biji padi sampai jabatan. Selain itu, adagium yang berlaku di sini adalah ‘the highest bidder, the winner’; maka wajar jika perlakuan istimewa diberikan kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan bukan kepada usaha mikro nan/dan kecil. Itulah mengapa konflik antara ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’—investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Ini pula yang menyebabkan kita harus menanggung beban (melalui ‘bantuan likuiditas’ negara) ketika para bankir besar dilanda krisis finansial. Karena alasan daya beli ini, ‘kebebasan modal’ selalu menjadi pemenang jika berkonflik dengan ‘kebebasan berkumpul’, ‘kebebasan pers’, kebebasan beragama’, dll.
Dalam tatanan Masyarakat Pasar menurut Neoliberalisme, prinsip pasar menjadi penentu relasi-relasi segala bidang kehidupan. Hal ini memberi konsekuensi bahwa akses kebebasan ditentukan oleh daya beli ke dalam segala bidang kehidupan. Jika pada akhirnya daya beli adalah penentu bagi ‘kebebasan’, maka ke manakah ‘kesamaan kesempatan’ yang digagas Neoliberalisme? Atau, bisa dibilang bahwa kebebasan yang digagas Neoliberalisme ini bersyaratkan daya beli. Dengan perkataan yang lebih lugas, ‘anda bisa nikmati kebebasan, hanya jika anda mampu membayarnya’. Sehingga, kebebasan yang digagas oleh Neoliberalisme ini bersifat kontradiktif (dan diskriminatif dalam penerapannya).
[Bukan] Akhiran…
Sekarang, kita bisa kembali pada bagian awal tulisan ini. Dan kembali bertanya, “apakah Neoliberalisme adalah ‘kuil ideologi’ bagi negeri ini?”.
[Semoga] Merdeka!
2 Agustus 2011.
Saya banyak mengutip dari tulisan berjudul Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan yang ditulis oleh B. Herry Priyono, yang ia sampaikan sebagai refleksi dalam acara “Pidato Kebudayaan” DKJ di Taman Ismail Mazuki, Jakarta, tanggal 10 November 2006. Sedangkan buku yang diedit oleh Amir Effendi Siregar, berjudul Arus Pemikiran Ekonomi Politik: Esai-Esai Terpilih, yang diterbitkan tahun 1991 oleh Tiara Wacana, Yogyakarta. Untuk ‘gejala’ yang saya jadikan paragraf pembuka, saya dapatkan dari Prof. Syafruddin Karimi, SE, MA, PhD. dalam tulisannya berjudul Manifesto Demokrasi Ekonomi: Sistem Pasar dan Keadilan Sosial sebagai Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Padang, tanggal 9 Oktober 2010.