Selasa, 1 Maret 2011.
Sms datang di hp yang tanpa pulsa. Pesannya singkat, “ngopi yuk”. Tak berapa lama setelah membalas sms itu—tentunya dengan pulsa teman yang baik hati merelakan pulsa smsnya, si teman datang bermotor sendirian. Tanya dari mana dan apa kabar selesai sudah. Giliran ngopi di mana yang mesti ditentukan. Jogja seharian ini hujan, sementara warung kopi di sini sedikit sediakan tempat berteduh. Akhirnya, Raminten disebut. Saya oke saja, karena ini bakal jadi pertama kalinya saya ke sana. Menu khas Jawa, ini kesan pertama yang saya dapat dari Raminten. Sama seperti Oyot Godhong; pakaian pramusajinya, interior ruangannya, kembang sesajinya, yang beda hanya bendi saja di serambi—kalau di Oyot Godhong bendi adanya di bawah depan pelataran Mirota Batik.
Pramusaji tawarkan tempat. Kurang lebih 15 menit kami berdua menentukan tempat. Aduh, kaya’nya soal ‘menentukan tempat’ bareng si teman ini memang mesti selalu sulit. Harus dua kali keliling ke luar-masuk, timbang-timbang duduk sila atau dengan kursi, di atas atau di bawah. “Sudah di depan saja”, saya bilang, barulah kita bisa duduk tenang. Saya tak berminat dengan makanan, saya langsung cari cetakan di menu yang bertuliskan ‘kopi’. Hanya kopi tubruk dan coffeemix yang saya tahu, lainnya tidak. Saya pilih deret teratas, ternyata kosong. Ya sudah, saya pesan deretan kedua: kopi ginseng. Si teman memesan tape hangat dan mi goreng. Pesanan datang. Dia makan, saya mulai nyruput kopi ginseng yang rasanya persis sama dengan coffeemix. Sial, salah besar!
“Baiklah, semoga obrolan dengan si teman tak begitu mengecewakan seperti pesanan saya ini,” saya berharap. Saya coba membuka obrolan dengan tema biasa bagi kami berdua. Saya tanya soal transisi demokrasi. Makanan seperti apa itu? Dari mana makanan itu? Ya, saya iseng saja tanya-tanya soal itu karena mesti tema obrolan itu tak bakal jauh dari kesibukannya sekarang ini; perihal politik, organisasi, atau kepanitiaan tertentu mesti bakal jadi tema yang bakal diobrolkannya juga. Ya, kurang lebih transisi demokrasi sekarang itu bakal sama seperti waktu kami berdua menentukan tempat, atau sama seperti ketika saya memesan kopi tadi saja. Itu pendapat saya. Belajar menghargai pendapat, belajar menentukan pilihan, eh tapi ternyata yang dipilih sedang kosong. Dan satu hal lagi, pilihan-pilihan itu bukan kita yang membuat, tapi sudah tersaji oleh sang ahli dalam menu yang ditawarkan pramusaji sedari mula kita berniat memasuki pasar pilihan. Berharap saja semoga simpulannya nanti bukan ‘Sial, salah besar!’.
Sebuah obrolan menarik mulai tersaji di sebuah café n resto Raminten malam ini. Si teman tanyakan soal nation and character building. Persisnya yang dia tanyakan adalah ‘bagaimana sih Bung Karno merumuskan nation and character building?’. Nah lho, sentimen nasionalis dari kami berdua pun muncul. Tak apalah, sentimen tandakan kami berdua masih manusia—atau setidaknya masih makhluk hidup. Saya terdiam, mungkin saja dia mau meneruskan kalimat jabaran dari pertanyaannya tadi itu—yang saya kira retoris. Tapi ternyata si teman saya ini menunggu jawaban atau tanggapan dari saya, dia kembali tegaskan, “aku iki tekon yo… belum jelas tadi ya, kalau yang tadi itu kalimat tanya?”
Sial lagi! Giliran saya yang mesti peras ingatan dan bangun argumen. Saya meraba-raba ingatan dan temukan satu kata kunci: TRISAKTI. Saya merasa beruntung sekali Bung Karno senang buat akronim yang mudah diingat sebagai kata kunci. Trisakti: berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Saya coba dapatkan feedback dari si teman, “menurutmu berdaulat itu apa?”. “Sovereignty,” si teman terjemahkan dengan kosakata tepat dalam bahasa Inggris. “Merdeka,” dilanjutkannya dengan kata yang mulai merujuk pada pengertiannya tentang kedaulatan. “Bebas,” sinonim lagi yang disebutkannya. Dari kata-kata yang disebutkannya itu saya coba berargumen bahwa butir pertama dan kedua dalam Trisakti itu mengasumsikan bahwa kita sebagai bangsa maupun warga negara ini mestilah otonom. Kata berdaulat dan mandiri itu sama-sama mengasumsikan bahwa kita tak boleh diintervensi dan atau bergantung; kita mestilah bebas, berhak, dan wajib menentukan diri kita sendiri sesuai kebutuhan dan kepentingan kita sendiri.
Itulah argumen ketika saya coba menjawab pertanyaan teman saya ini. Tapi saya tersendat ketika dia tanya lebih lanjut tentang butir ketiga, berkepribadian dalam budaya. Saya coba lagi kuras ingatan lebih dalam agar jawaban saya ini tuntas berdasar alasan. Saya teringat tentang pidato 1 Juni 1945 saat Bung Karno menjawab pertanyaan Dr. Rajiman tentang weltanschauung bagi Indonesia merdeka. Bung Karno adalah penggali Pancasila, ia menggalinya dari bangsa Indonesia dan prinsip-prinsip Pancasila itu menggelora dalam dadanya selama berpuluh-puluh tahun sebelum ia sampaikan dalam pidato 1 Juni 1945 itu. Dalam pendapat saya, Pancasila inilah yang menjadi kata kunci bagi butir ketiga Trisakti, berkepribadian dalam budaya. Karena Pancasila merupakan nilai dan norma yang khas Indonesia. Dan dalam pembahasan kami berdua, butir ketiga ini merupakan variabel bebas bagi kedua butir sebelumnya. Butir ‘berkepribadian dalam budaya’ merupakan penentu bagi berlangsungnya ‘berdaulat dalam politik’ dan ‘mandiri dalam ekonomi’.
Ya, usai sudah perbincangan saya dan si teman. Entah mungkin karena belum punya pendapat dan jawaban dari pertanyaannya sendiri, atau perlu meresapi alasan yang saya paparkan, atau bingung dengan argumen saya; dia sepakati argumen saya. Sayangnya, saya tidak bisa menyatakan argumen saya ini pun benar karena belum ada pembuktiannya, atau setidaknya ada argumen lain sebagai pembanding dalam menjawab pertanyaan ‘bagaimana sih Bung Karno merumuskan nation and character building?’. Sementara ini, saya hanya bisa berupaya menjawabnya dengan dua buah kata kunci, yaitu Trisakti dan Pancasila. Itu saja.
Sekitar jam 11 malam saya berniat pesan kopi tubruk, tapi si teman mesti pulang sebelum jam 1. Gerbang komplek rumah berpulangnya dikunci jam 1 dini hari, katanya. Okelah kalau begitu. Padahal saya haus dan minuman sudah habis sebelum saya tuntaskan alasan saya tadi. Tapi tak apalah, daripada mesti menampung si teman ngobrol tanpa tidur di tempat saya. Maka saya dan si teman pun hengkang dari Raminten. Terima kasih, si teman… kapan-kapan kita ngopi bareng lagi ya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar